Tajuk - 06 Juli 2011
Sebuah even atau kalender tahunan yang diselenggarakan dinas instansti, patut diapresiasi sebagai suatu bentuk kepedulian. Lebih dari itu ini juga merupakan pembanding bagi instansi lain yang tidak (belum) memiliki kegiatan yang dikerjakan.
Seperti beberapa even yang ada dan dikelola Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Lampung Barat (Lambar) selaku leading sector-nya, misalnya Semarak Wisata Tangjungsetia, Gebyar Pesona Lumbok Ranau, dan Festival Teluk Stabas, menunjukkan ada karya yang nyata dan telah ditunjukkan.
Sebuah apresiasi rasanya tak berlebihan manakala dikedepankan seabagai suatu pengakuan jujur atas kinerja yang telah dilakukan. Sumbangsih pemikiran dan karya nyata dalam memajukan daerah berpenduduk lebih dari 420 ribu jiwa itu, tentu bukan hanya sebagai lips services pemanis bibir yang hambar, lebih dari itu sebuah karya dan nyata.
Ini pula secara tidak langsung menjadi barometer akan sebuah kinerja yang terukur bagi dinas instansi yang ada, terlebih bagi sang user kepala satuan kerja (satker). Artinya, seorang kepala satker akan banyak berbuat dan berbuat banyak manakala ide-ide brilliannya tersalurkan dengan kesemepatan kerja dan karya yang diberikan itu dipercayakan kepadanya.
Sebaliknya, seorang kepala satker yang moncer popularitasnya karena didongkrak, dipastikan tidak akan mampu berbuat apa-apa. Jangankan menemukan ide baru yang bagus dan futuristik, melakukan apa yang diperintah dengan baik saja tidak bisa. Sayang sekali jika kesempatan berkarya ini justru jatuh pada pejabat yang tidak bisa bekerja.
Meski demikian, untuk bisa melihat dan atau mengukur seorang pejabat mampu dan mau bekerja, tentu harus diberikan kesempatan kepadanya terlebih dahulu. Atau mungkin juga sebaliknya, tidak akan dipercayakan sebuah jabatan kepadanya manakala yang bersangkutan tak menunjukkan keinginannya dipercaya menjadi pejabat. Malas berpikir dan malas ngantor adalah sebuah alasan yang logis untuk tidak mempercayakan amanah itu kepadanya.
Persoalannya tinggal lagi apakah memang sebuah pekerjaan akan dinilai dari apa yang telah dikerjakan, atau penilaian justru mengawali suatu jabatan itu dipercayakan kepadanya. Ini adalah sebuah kemungkinan pilihan dijatuhkan kepada yang paling ideal menerima manakala sang user menginginkannya. Tapi yang pasti, ketika kepercayaan itu djatuhkan kepada pejabat yang malas, tentu ini merupakan sebuat pertanda awal kehancuran dinas yang berangkutan.
Kembali kepada ihwal kinerja, yang paling ideal adalah mengedepankan profesionalisme dan produktivitas. Kedua kata itu harusnya menjadi patokan bak dua sisi mata uang, berbeda tapi tidak bisa dipisahkan karena saling melengkapi. Profesional, tentu diikuti dengan kematangan berpikir, keilmuan dan keterampilan. Dan produktivitas berarti ada out put yang dihasilkan, bukan hanya program yang bagus, tapi juga harus dilaksanakan. (*)
Seperti beberapa even yang ada dan dikelola Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Lampung Barat (Lambar) selaku leading sector-nya, misalnya Semarak Wisata Tangjungsetia, Gebyar Pesona Lumbok Ranau, dan Festival Teluk Stabas, menunjukkan ada karya yang nyata dan telah ditunjukkan.
Sebuah apresiasi rasanya tak berlebihan manakala dikedepankan seabagai suatu pengakuan jujur atas kinerja yang telah dilakukan. Sumbangsih pemikiran dan karya nyata dalam memajukan daerah berpenduduk lebih dari 420 ribu jiwa itu, tentu bukan hanya sebagai lips services pemanis bibir yang hambar, lebih dari itu sebuah karya dan nyata.
Ini pula secara tidak langsung menjadi barometer akan sebuah kinerja yang terukur bagi dinas instansi yang ada, terlebih bagi sang user kepala satuan kerja (satker). Artinya, seorang kepala satker akan banyak berbuat dan berbuat banyak manakala ide-ide brilliannya tersalurkan dengan kesemepatan kerja dan karya yang diberikan itu dipercayakan kepadanya.
Sebaliknya, seorang kepala satker yang moncer popularitasnya karena didongkrak, dipastikan tidak akan mampu berbuat apa-apa. Jangankan menemukan ide baru yang bagus dan futuristik, melakukan apa yang diperintah dengan baik saja tidak bisa. Sayang sekali jika kesempatan berkarya ini justru jatuh pada pejabat yang tidak bisa bekerja.
Meski demikian, untuk bisa melihat dan atau mengukur seorang pejabat mampu dan mau bekerja, tentu harus diberikan kesempatan kepadanya terlebih dahulu. Atau mungkin juga sebaliknya, tidak akan dipercayakan sebuah jabatan kepadanya manakala yang bersangkutan tak menunjukkan keinginannya dipercaya menjadi pejabat. Malas berpikir dan malas ngantor adalah sebuah alasan yang logis untuk tidak mempercayakan amanah itu kepadanya.
Persoalannya tinggal lagi apakah memang sebuah pekerjaan akan dinilai dari apa yang telah dikerjakan, atau penilaian justru mengawali suatu jabatan itu dipercayakan kepadanya. Ini adalah sebuah kemungkinan pilihan dijatuhkan kepada yang paling ideal menerima manakala sang user menginginkannya. Tapi yang pasti, ketika kepercayaan itu djatuhkan kepada pejabat yang malas, tentu ini merupakan sebuat pertanda awal kehancuran dinas yang berangkutan.
Kembali kepada ihwal kinerja, yang paling ideal adalah mengedepankan profesionalisme dan produktivitas. Kedua kata itu harusnya menjadi patokan bak dua sisi mata uang, berbeda tapi tidak bisa dipisahkan karena saling melengkapi. Profesional, tentu diikuti dengan kematangan berpikir, keilmuan dan keterampilan. Dan produktivitas berarti ada out put yang dihasilkan, bukan hanya program yang bagus, tapi juga harus dilaksanakan. (*)
Tidak ada komentar