Tajuk - 19 Juli 2011
Menjaga sebuah citra jauh lebih sulit daripada membangunnya. Banyak orang menjadi pejabat, berwibawa, disegani, ditokohkan, dipuja, kharismatik, dan selalu ditunggu kedatangannya, itu karena yang bersangkutan berhasil membangun citra diri pribadinya.
Biasanya citra dibangun dari tidak dikenal, tidak terkenal, biasa-biasa saja, dia akhirnya menjadi dikenal, terkenal, dan luar biasa, itu karena yang bersangkutan mampu menjaga apa yang diucapkannya dengan yang dikerjakannya. Semua gerak langkah kehidupannya diteladani karena mencerminkan kedewasaan, kharismatik, taat kepada hukum, dan selalu takut berbuat salah.
Kebanyakan orang yang berhasil membangun citranya hanya bersifat temporer, saat sedang menjadi pejabat (menjadi kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, presiden, dan anggota dewan) saat dipercaya oleh atasan, dan atau memang pada zamannya yang bersangkutan selalu dalam pelukan Dewi Fortuna.
Tapi tidak sedikit orang yang setelah tak lagi menjadi pejabat atau orang terkenal mendadak jeblok moralnya juga karena perbuatannya sendiri. Atau saat dia menjabat tidak pernah berpikir apa yang bisa dikerjakan (baca: dipersembahkan kepada orang lain) setelah tidak lagi mendapat kepercayaan, setelah tidak menjadi kepala desa atau anggota dewan, misalnya.
Hal itu pula yang tak jauh berbeda ketika menggambarkan kelakuan genit salah seorang oknum mantan peratin di Kecamatan Pesisir Selatan Lambar yang diduga kuat “melompat pagar tetangga’. Dia diduga kuat tak mampu mengimbangi citra yang telah dibangunyna ketika menjadi peratin dan terlanjur melompat pagar tetanggnya, dimana pada saat itu di disegani warganya.
Karena itu pula mantan peratin tersebut termasuk kategori orang tak mampu menjga citranya setelah tidak lagi menjadi pejabat. Kelakuannya sama sekali tak bisa diteladani. Terlebih dia juga kini menjadi pengurus salah satu partai politik dan di dalam komunitas tertentu masih dianggap memiliki power dan kharismatik. Tapi karena ulahnya sendiri, bukan hanya dirinya yang terkena imbasnya, tapi juga organisasi atau lembaga yang menaunginya. (*)
Biasanya citra dibangun dari tidak dikenal, tidak terkenal, biasa-biasa saja, dia akhirnya menjadi dikenal, terkenal, dan luar biasa, itu karena yang bersangkutan mampu menjaga apa yang diucapkannya dengan yang dikerjakannya. Semua gerak langkah kehidupannya diteladani karena mencerminkan kedewasaan, kharismatik, taat kepada hukum, dan selalu takut berbuat salah.
Kebanyakan orang yang berhasil membangun citranya hanya bersifat temporer, saat sedang menjadi pejabat (menjadi kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, presiden, dan anggota dewan) saat dipercaya oleh atasan, dan atau memang pada zamannya yang bersangkutan selalu dalam pelukan Dewi Fortuna.
Tapi tidak sedikit orang yang setelah tak lagi menjadi pejabat atau orang terkenal mendadak jeblok moralnya juga karena perbuatannya sendiri. Atau saat dia menjabat tidak pernah berpikir apa yang bisa dikerjakan (baca: dipersembahkan kepada orang lain) setelah tidak lagi mendapat kepercayaan, setelah tidak menjadi kepala desa atau anggota dewan, misalnya.
Hal itu pula yang tak jauh berbeda ketika menggambarkan kelakuan genit salah seorang oknum mantan peratin di Kecamatan Pesisir Selatan Lambar yang diduga kuat “melompat pagar tetangga’. Dia diduga kuat tak mampu mengimbangi citra yang telah dibangunyna ketika menjadi peratin dan terlanjur melompat pagar tetanggnya, dimana pada saat itu di disegani warganya.
Karena itu pula mantan peratin tersebut termasuk kategori orang tak mampu menjga citranya setelah tidak lagi menjadi pejabat. Kelakuannya sama sekali tak bisa diteladani. Terlebih dia juga kini menjadi pengurus salah satu partai politik dan di dalam komunitas tertentu masih dianggap memiliki power dan kharismatik. Tapi karena ulahnya sendiri, bukan hanya dirinya yang terkena imbasnya, tapi juga organisasi atau lembaga yang menaunginya. (*)
Tidak ada komentar