Tajuk - 26 Juli 2011
Anggota legislatif (aleg) Lampung Barat reses ke daerah pemilihan (DP) masing-masing, Senin-Sabtu, pekan ini. Ada dua sisi yang harus dicermati: aleg menemui konstituennya dalam rangka menyerap aspirasi dan kemudian menyalurkannya dan kesempatan konstituen melihat kepiawanan aleg bersangkutan berbaur, menyerap dan menyalurkan aspirasi mereka.
Dengan demikian, konstituen juga tahu dan mengenal perwakilannya di lembaga terhormat, DPRD. Tentu saja banyak hal yang diserap, mulai dari persoalan kekinian, seperti masalah pendidikan gratis dan pelayanan kesehatan, naiknya harga sembako menjelag puasa dan Lebaran tahun ini, dan lain sebagainya. Yang pasti, konstituen akan banyak bertanya seputar itu.
Faktanya, ada kesan aleg kalau sudah duduk di kursi empuk DPRD enggan menyambangi konstituen yang notabene telah menjadi penghantar mereka masuk kelompok elit masyarakat itu. Dengan aleg turun ke bawah (turba) menemui konstituennya, tentu akan mematahkan asumsi tersebut. Bukan hanya itu, pada kesempatan reses, aleg-konstituen menjalin komunikasi yang lebih akrab dan leluasa menyampaikan apa saja yang dimauinya.
Ada konstutuen yang meresahkan keberadaan ternak yang dliarkan, misalnya, ditampung dan disalurkan aleg. Demikian juga dengan permasalahan lain, seperti mahalnya biaya pendidikan, tidak meratanya pelayanan kesehatan, juga termasuk aspirasi yang disampaikan. Harapan konstituen, tentu, apa-apa yang telah disampaikan mereka disalurkan dan diupayakan direalisasikan.
Proses penyaluran aspirasi inilah menuntut kelihaian dan kepiawaian aleg berargumentasi meyakinkan teman-temannya yang lain di dewan dan pemerintah. Ini wajar karena lembaga dewan adalal media pertarungan wawasan dan gagasan brillian dilandasi semangat membangun yang sesungguhnya. Jadi bukan lembaga nonformal coba-coba. Artinya, ketika seorang aleg tak mampu beragumen menyampaikan aspirasi dimaksud, maka sejak saat itu di telah ‘gagal’ sebagai wakil rakyat, utamanya bagi konstituen di DP yang bersangkutan. (*)
Dengan demikian, konstituen juga tahu dan mengenal perwakilannya di lembaga terhormat, DPRD. Tentu saja banyak hal yang diserap, mulai dari persoalan kekinian, seperti masalah pendidikan gratis dan pelayanan kesehatan, naiknya harga sembako menjelag puasa dan Lebaran tahun ini, dan lain sebagainya. Yang pasti, konstituen akan banyak bertanya seputar itu.
Faktanya, ada kesan aleg kalau sudah duduk di kursi empuk DPRD enggan menyambangi konstituen yang notabene telah menjadi penghantar mereka masuk kelompok elit masyarakat itu. Dengan aleg turun ke bawah (turba) menemui konstituennya, tentu akan mematahkan asumsi tersebut. Bukan hanya itu, pada kesempatan reses, aleg-konstituen menjalin komunikasi yang lebih akrab dan leluasa menyampaikan apa saja yang dimauinya.
Ada konstutuen yang meresahkan keberadaan ternak yang dliarkan, misalnya, ditampung dan disalurkan aleg. Demikian juga dengan permasalahan lain, seperti mahalnya biaya pendidikan, tidak meratanya pelayanan kesehatan, juga termasuk aspirasi yang disampaikan. Harapan konstituen, tentu, apa-apa yang telah disampaikan mereka disalurkan dan diupayakan direalisasikan.
Proses penyaluran aspirasi inilah menuntut kelihaian dan kepiawaian aleg berargumentasi meyakinkan teman-temannya yang lain di dewan dan pemerintah. Ini wajar karena lembaga dewan adalal media pertarungan wawasan dan gagasan brillian dilandasi semangat membangun yang sesungguhnya. Jadi bukan lembaga nonformal coba-coba. Artinya, ketika seorang aleg tak mampu beragumen menyampaikan aspirasi dimaksud, maka sejak saat itu di telah ‘gagal’ sebagai wakil rakyat, utamanya bagi konstituen di DP yang bersangkutan. (*)
Tidak ada komentar