Korban Sebagai Objek Penderita
Rabu, 21 September 2011
Dalam tulisan ini saya mencoba memaknakan arti kata “korban” tanpa bermaksud mempertentangkannya dengan pengertian harfiah, atau yang merujuk kitab, kamus, dan pengertian ilmiah lainnya. Kaitannya dengan beberapa kejadian di Kabupaten Lampung Barat (Lambar) baru-baru ini, dimana kata tersebut selalu ada dan menjadi sebuah akibat dari proses yang relatif panjang oleh alam dan manusia.
Secara sederhana, definisi korban sebagai penderita, baik orang maupun harta benda (alam). Penekanan kata tersebut dalam tulisan ini pada korban manusia atau orang, meski sebetulnya terkait erat dengan harta benda. Bisa juga pengertian korban semacam ini adalah penderitaan yang tidak bermakna spiritual. Korban meninggal akibat banjir atau faktor alam lainnya, hanyalah contoh kecil yang saya coba uraikan secara sederhana.
Tapi yang lebih penting, adalah upaya mencermati adanya korban itu sendiri, kenapa ada korban, bagaimana penanganan korban, dan apa akibatnya. Korban banjir, misalnya, disadari atau tidak karena luas areal tegakan hutan kawasan banyak berkurang akibat deforestasi. Dimana selalu yang menjadi kambing hitam sebagai jawaban pembenarnya faktor ekonomi, dari yang tidak sanggup membeli sembako hingga biaya anak sekolah.
Jarang sekali, jika tak mau dikatakan tidak ada sama sekali, oknum pelaku yang tertangkap (tapi sebenarnya yang tidak tertangkap jauh lebih banyak) disanksi berat sesuai hukum yang berlaku. Kalaupun ada, yang kemudian dilepas karena kebijakan tidak sedikit. Justru kebijakan blunder itulah yang kemudian membuka celah terjadinya perbuatan serupa pada masa berikutnya.
Mungkin pernah ada yang mendengar oknum aparat berseragam, baik peratin maupun petugas dinas/institusi terkait yang terindikasi melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud. Anehnya, mereka selalu lepas dari jeratan hukum. Kalaupun ada yang dihukum, sekali lagi, yang tidak dihukum jauh lebih banyak.
Mencermati uraian sederhana di atas, diakui atau tidak membuat wibawa penegak hukum tak bergigi. Ibarat macan ompong, seram tapi tak mengigit. Artinya bahwa, bagaimana upaya penegakan supremasi hukum itu tetap diterapkan meski pada kenyataannya bak buah simalakama. Justru dengan ketegasan itu aparat semakin berwibawa. Demikian juga secara institusional akan semakin disegani.
Kembali pada kata “korban” di atas, persoalannya adalah penderitanya atau yang menjadi akibat dari sebab itu. Mungkin saja korban awal adalah beberapa orang meninggal dunia, kebun banyak rusak, dan kayu-kayu di hutan banyak yang roboh. Kecenderungan kita memaknakan korban selalu pada angka, jumlah orang yang menjadi korban atau jumlah kerugian yang ditimbulkannya, artinya juga korban.
Kenapa tidak mencoba mencermati, mengapa sampai jatuh korban atau kenapa sampai adanya korban? Mungkin naluri atau insting semacam inilah yang mesti dipertajam. Kemudian benang merah yang bisa disarikan dari pencermatan itu, adalah mencegahnya. Termasuk di dalamnya menjatuhkan sanksi berat bagi oknum pelaku, jangan pernah dimaafkan dengan kata kebijakan. Selain itu, upaya rehabilitasinya juga tak kalah penting: harus beriringan. (*)
Dalam tulisan ini saya mencoba memaknakan arti kata “korban” tanpa bermaksud mempertentangkannya dengan pengertian harfiah, atau yang merujuk kitab, kamus, dan pengertian ilmiah lainnya. Kaitannya dengan beberapa kejadian di Kabupaten Lampung Barat (Lambar) baru-baru ini, dimana kata tersebut selalu ada dan menjadi sebuah akibat dari proses yang relatif panjang oleh alam dan manusia.
Secara sederhana, definisi korban sebagai penderita, baik orang maupun harta benda (alam). Penekanan kata tersebut dalam tulisan ini pada korban manusia atau orang, meski sebetulnya terkait erat dengan harta benda. Bisa juga pengertian korban semacam ini adalah penderitaan yang tidak bermakna spiritual. Korban meninggal akibat banjir atau faktor alam lainnya, hanyalah contoh kecil yang saya coba uraikan secara sederhana.
Tapi yang lebih penting, adalah upaya mencermati adanya korban itu sendiri, kenapa ada korban, bagaimana penanganan korban, dan apa akibatnya. Korban banjir, misalnya, disadari atau tidak karena luas areal tegakan hutan kawasan banyak berkurang akibat deforestasi. Dimana selalu yang menjadi kambing hitam sebagai jawaban pembenarnya faktor ekonomi, dari yang tidak sanggup membeli sembako hingga biaya anak sekolah.
Jarang sekali, jika tak mau dikatakan tidak ada sama sekali, oknum pelaku yang tertangkap (tapi sebenarnya yang tidak tertangkap jauh lebih banyak) disanksi berat sesuai hukum yang berlaku. Kalaupun ada, yang kemudian dilepas karena kebijakan tidak sedikit. Justru kebijakan blunder itulah yang kemudian membuka celah terjadinya perbuatan serupa pada masa berikutnya.
Mungkin pernah ada yang mendengar oknum aparat berseragam, baik peratin maupun petugas dinas/institusi terkait yang terindikasi melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud. Anehnya, mereka selalu lepas dari jeratan hukum. Kalaupun ada yang dihukum, sekali lagi, yang tidak dihukum jauh lebih banyak.
Mencermati uraian sederhana di atas, diakui atau tidak membuat wibawa penegak hukum tak bergigi. Ibarat macan ompong, seram tapi tak mengigit. Artinya bahwa, bagaimana upaya penegakan supremasi hukum itu tetap diterapkan meski pada kenyataannya bak buah simalakama. Justru dengan ketegasan itu aparat semakin berwibawa. Demikian juga secara institusional akan semakin disegani.
Kembali pada kata “korban” di atas, persoalannya adalah penderitanya atau yang menjadi akibat dari sebab itu. Mungkin saja korban awal adalah beberapa orang meninggal dunia, kebun banyak rusak, dan kayu-kayu di hutan banyak yang roboh. Kecenderungan kita memaknakan korban selalu pada angka, jumlah orang yang menjadi korban atau jumlah kerugian yang ditimbulkannya, artinya juga korban.
Kenapa tidak mencoba mencermati, mengapa sampai jatuh korban atau kenapa sampai adanya korban? Mungkin naluri atau insting semacam inilah yang mesti dipertajam. Kemudian benang merah yang bisa disarikan dari pencermatan itu, adalah mencegahnya. Termasuk di dalamnya menjatuhkan sanksi berat bagi oknum pelaku, jangan pernah dimaafkan dengan kata kebijakan. Selain itu, upaya rehabilitasinya juga tak kalah penting: harus beriringan. (*)
Tidak ada komentar