Normalisasi Waylaay Diduga Salahi Bestek
Selasa, 20 September 2011
Karyapenggawa, WL - Pengerjaan pemeliharaan berkala jembatan dan normalisasi Sungai Waylaay Pekon Laay Kecamatan Karyapenggawa Kabupaten Lampung Barat (Lambar) bersumber APBN 2011 sebesar Rp4,4 miliar lebih oleh PT. Yoesman Karya selaku pemenang tender diduga menyalahi bestek.
Kepada Warta Lambar, Senin (19/9) penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Geshindo, Rifasha, mengutarakan temuannya ihwal penyimpangan pertama, yakni pemasangan beronjong tidak menggunakan matras dan tidak digali, hanya dipasang terlebih dahulu.
Batu yang digunakan ukurannya jauh di bawah standar seharusnya, 20-35.
Lanjud Rifasha, penggunaan material timbunan kaki jembatan dan beronjong menggunakan berasal dari galian C di sekitar jembatan yang disinyalir tidak ada izin. Indikasi itu merugikan negara, khususnya Lambar. “Pekerja menggunakan batu dan sirtu yang diambil langsung dari aliran Waylaay.”
Dengan demikian berarti untuk pembelian material menjadi keuntungan pribadi pemborong. Sementara pajak yang seharusnya diterima pemkab sebagai PAD tidak masuk karena illegal. Dia juga berharap dinas terkait menghentikan aktivitas penambangan dan penggunaan material yang disinyalir tidak berizin dan penegak hukum dapat memroses permasalahan tersebut.
Pantauan wartawan koran ini, tak satupun pengawas atau pelaksana proyek yang dapat ditemui. Melalui pekerja yang tidak mau disebutkan namanya, diperoleh informasi pengambilan batu di aliran Waylaay atas perintah pengawas. Pengumpul hanya menerima imbalan Rp30 ribu/M3. (sul)
Karyapenggawa, WL - Pengerjaan pemeliharaan berkala jembatan dan normalisasi Sungai Waylaay Pekon Laay Kecamatan Karyapenggawa Kabupaten Lampung Barat (Lambar) bersumber APBN 2011 sebesar Rp4,4 miliar lebih oleh PT. Yoesman Karya selaku pemenang tender diduga menyalahi bestek.
Kepada Warta Lambar, Senin (19/9) penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Geshindo, Rifasha, mengutarakan temuannya ihwal penyimpangan pertama, yakni pemasangan beronjong tidak menggunakan matras dan tidak digali, hanya dipasang terlebih dahulu.
Batu yang digunakan ukurannya jauh di bawah standar seharusnya, 20-35.
Lanjud Rifasha, penggunaan material timbunan kaki jembatan dan beronjong menggunakan berasal dari galian C di sekitar jembatan yang disinyalir tidak ada izin. Indikasi itu merugikan negara, khususnya Lambar. “Pekerja menggunakan batu dan sirtu yang diambil langsung dari aliran Waylaay.”
Dengan demikian berarti untuk pembelian material menjadi keuntungan pribadi pemborong. Sementara pajak yang seharusnya diterima pemkab sebagai PAD tidak masuk karena illegal. Dia juga berharap dinas terkait menghentikan aktivitas penambangan dan penggunaan material yang disinyalir tidak berizin dan penegak hukum dapat memroses permasalahan tersebut.
Pantauan wartawan koran ini, tak satupun pengawas atau pelaksana proyek yang dapat ditemui. Melalui pekerja yang tidak mau disebutkan namanya, diperoleh informasi pengambilan batu di aliran Waylaay atas perintah pengawas. Pengumpul hanya menerima imbalan Rp30 ribu/M3. (sul)
Tidak ada komentar