Arifin Bukan Tokoh Masyarakat Balaikencana
Krui Selatan, WL - Pengakuan Arifin Surdani sebagai salah satu tokoh masyarakat di Pekon Balaikencana Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Lampung Barat (Lambar) dan memberikan pernyataan yang tidak sesuai bukti di lapangan terhadap pengerjaan talud bersumber dana Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan
(PPIP) di pekon itu pada salah satu media mingguan lokal beberapa waktu lalu, memantik komplain warga setempat dan para tokoh yang sebenarnya.
Tokoh adat Yulya A.Z. kepada Warta Lambar, Selasa (4/10), mengatakan pihaknya merasa gerah atas pengakuan Arifin yang baru beberapa tahun terakhir menetap kembali di pekon tersebut setelah sekian lama melang-lang buana di seberang. Dengan tegas Yulya kemudian menyebutkan bahwa yang menjabat sebagai tokoh masyarakat adalah Basri Jamak. “Di pekon ini Arifin Surdani bukan sebagai tokoh masyarakat, melainkan warga biasa. Salah satu ciri tokoh masyarakat, setiap pekon menggelar musyawarah pasti diundang,” terang Yulya.
Terkait persoalan pengerjaan talud tersebut, Ketua Organisasi Masyarakat Setempat (OMS), Dapendri, mengatakan bahwa batu yang dimuat dalam media tersebut yang juga bukan batu belah, batu sisa warga membangun rumah. “Batu yang difoto itu adalah batu sisa warga membangun rumah. Dan jelas-jelas itu
merupakan manipulasi foto. Karena itu, kami warga Balaikencana bisa saja memperkarakan wartawan media tersebut ke pihak berwajib,” tambah Dapendri.
Dapendri mengaku pihaknya sempat didatangi dua orang yang berinisial Rus, wartawan media mingguan itu, dan penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Har, guna untuk mengonfirmasi pengerjaan proyek tersebut yang dianggap tidak sesuai juklak-juknis. Setelah dikonfirmasi Dapendri memberikan dua amplop
kepada Rus dan Har, namun keduanya tidak menerima amplop itu karena hanya berisi Rp50 ribu/amplop. Bukan hanya itu, keduanya juga meminta Dapendri memberikan uang sebesar Rp1 juta tanpa alasan dan tujuan yang jelas. “Mereka meminta uang sebesar Rp1 juta, tetapi saya tidak memberikannya karena
tujuannya tidak jelas. Bahkan, nada bicara keduanya juga mengarah pemerasan,” lanjut Dapendri.
Karena itu, masyarakat berharap Arifin Surdani dapat merubah sikapnya yang dianggap melenceng dan tidak mempunyai rasa malu itu. Dia juga menengarai dinas-dinas terkait dijadikan Arifin sebagai tempat melaporkan pembangunan talut yang dianggapnya asal jadi itu. “Karena itu, kami meminta seluruh pihak terkait tak menghiraukan laporan tersebut. Dinas PU sudah dua kali turun memeriksa hasil pekerjaan kami, hasilnya cukup baik,” tutupnya. (*)
Rabu, 05 Oktober 2011
(PPIP) di pekon itu pada salah satu media mingguan lokal beberapa waktu lalu, memantik komplain warga setempat dan para tokoh yang sebenarnya.
Tokoh adat Yulya A.Z. kepada Warta Lambar, Selasa (4/10), mengatakan pihaknya merasa gerah atas pengakuan Arifin yang baru beberapa tahun terakhir menetap kembali di pekon tersebut setelah sekian lama melang-lang buana di seberang. Dengan tegas Yulya kemudian menyebutkan bahwa yang menjabat sebagai tokoh masyarakat adalah Basri Jamak. “Di pekon ini Arifin Surdani bukan sebagai tokoh masyarakat, melainkan warga biasa. Salah satu ciri tokoh masyarakat, setiap pekon menggelar musyawarah pasti diundang,” terang Yulya.
Terkait persoalan pengerjaan talud tersebut, Ketua Organisasi Masyarakat Setempat (OMS), Dapendri, mengatakan bahwa batu yang dimuat dalam media tersebut yang juga bukan batu belah, batu sisa warga membangun rumah. “Batu yang difoto itu adalah batu sisa warga membangun rumah. Dan jelas-jelas itu
merupakan manipulasi foto. Karena itu, kami warga Balaikencana bisa saja memperkarakan wartawan media tersebut ke pihak berwajib,” tambah Dapendri.
Dapendri mengaku pihaknya sempat didatangi dua orang yang berinisial Rus, wartawan media mingguan itu, dan penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Har, guna untuk mengonfirmasi pengerjaan proyek tersebut yang dianggap tidak sesuai juklak-juknis. Setelah dikonfirmasi Dapendri memberikan dua amplop
kepada Rus dan Har, namun keduanya tidak menerima amplop itu karena hanya berisi Rp50 ribu/amplop. Bukan hanya itu, keduanya juga meminta Dapendri memberikan uang sebesar Rp1 juta tanpa alasan dan tujuan yang jelas. “Mereka meminta uang sebesar Rp1 juta, tetapi saya tidak memberikannya karena
tujuannya tidak jelas. Bahkan, nada bicara keduanya juga mengarah pemerasan,” lanjut Dapendri.
Karena itu, masyarakat berharap Arifin Surdani dapat merubah sikapnya yang dianggap melenceng dan tidak mempunyai rasa malu itu. Dia juga menengarai dinas-dinas terkait dijadikan Arifin sebagai tempat melaporkan pembangunan talut yang dianggapnya asal jadi itu. “Karena itu, kami meminta seluruh pihak terkait tak menghiraukan laporan tersebut. Dinas PU sudah dua kali turun memeriksa hasil pekerjaan kami, hasilnya cukup baik,” tutupnya. (*)
Rabu, 05 Oktober 2011
klo yakin gak ada pnyimpangan atau smua ssuai prosedur trhadap pmbangunan, gak usah takut2 ma wrtawan/LSM apalagi sampai ngasih amplop (duit), klo mreka skedar dtang mliat data dsb itu wajar2 aja, karena UU tlah mengamanatkan ttg keterbukaan informasi publik..
BalasHapusklo mang tindakan2 dari pihak2 sudah mengarah tindak pidana, silakan buat laporan polisi..