Editorial - 28 September 2011
Suatu perlambang sebagai apresiasi atas prestasi yang dicapai, biasanya dalam bentuk benda dimaksudkan untuk penghargaan bagi para juara, terbaik, terindah, dan semua kata yang bermakna bagus. Bisa saja diwujudkan dalam bentuk piala. Benda tersebut biasanya terbuat dari plastik dan atau sejenisnya yang menggambarkan dan bermakna semangat berkobar-kobar, bahwa peraihnya adalah terbaik.
Meski predikat terbaik masih ada tingkatannya, misalnya I, II, III, dan seterusnya, manakala seseorang, grup atau kelompok mendapatkan piala dimaksud, berarti adalah terbaik. Tapi yang pasti, siapapun yang mendapatkannya tentu telah pula melewati seleksi, pertandingan, atau lomba dengan sejumlah ketentuan yang dipersyaratkan.
Mendapatkan Piala Adipura, adalah juga sebagai bentuk penghargaan, apresiasi atas sebuah perjuangan. Tahun 2010 lalu, Bupati Kabupaten Lampung Barat (Lambar) Drs. H. Mukhlis Basri, M.M. mendapat kehormatan menerima Piala Adipura kategori kota kecil yang diserahkan langsung Presiden SBY di Istana
Negara. Bagi Lambar, Piala Adipura adalah untuk pertama kalinya, setelah tahun-tahun sebelumnya akumulasi penilaian belum memenuhi standar yang telah ditentukan.
Sebab, dengan begitu seluruh komponen yang terlibat akan tersemangati dengan terus melakukan terobosan dan langkah kongkret meraihnya. Kerja keras, kekompakan, percaya diri, dan ulet, membuahkan hasil yang optimal. Tentu hal itu bukanlah puncak atau batas tertinggi pencapaian reputasi Lambar ke depan. Bisa diartikan terus berupaya mempertahankan tradisi kebersihan lingkungan secara berkelanjutan, sadar diri bagi warganya bahwa kebiasaan itu baik dan berguna.
Misalnya, keberadaan pohon pelindung atau peneduh ditanam di trotoar jalan protokol Liwa-Waymengaku, dikaji ulang. Betapa tidak, pohon ditanam di atas trotoar yang notabene area pejalan kaki yang mengganggu kenyamanan dan keamanan pejalan kaki.
Sebaliknya, kalaupun keberadaan pohon-pohon itu mesti dipertahankan, tentu harus ditata dan ditanami lagi. Sejauh ini, sejak penilaian berlangsung, pohon-pohon itu sebagian besar mati, sama seperti kasus serupa periode sebelumnya dimana ketika itu menanam palm.
Item lain yang tak kalah pentingnya harus diperhatikan, adalah kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan lingkungan dan mentradisikannya.
Termasuk juga selalu mengecek selokan atau drainase yang mampet, dimana hal itu bisa menciptakan peluang berkembangbiaknya nyamuk. Lainnya, adalah keberadaan lampu jalan yang tidak semuanya menyala, banyak bola putus.
Tapi yang pasti, diraihnya Piala Adipura merupakan pengakuan Pemerintah Pusat atas kerja keras dan prestasi Lambar dalam bidang kebersihan lingkungan kategori kota kecil. Persoalannya kemudian, beberapa bulan lalu tahun 2011 ini, Lambar tak lagi mendapatkan penghargaan Piala Adipura tersebut. Beberapa item kekhawatiran ternyata mendekati kebenaran adanya. Sehingga, Lambar pun gigit jari karena terlempar jauh kemerosotan nilainya dibanding kabupaten/kota lainnya di tanah air. ()
Rabu, 28 September 2011
Meski predikat terbaik masih ada tingkatannya, misalnya I, II, III, dan seterusnya, manakala seseorang, grup atau kelompok mendapatkan piala dimaksud, berarti adalah terbaik. Tapi yang pasti, siapapun yang mendapatkannya tentu telah pula melewati seleksi, pertandingan, atau lomba dengan sejumlah ketentuan yang dipersyaratkan.
Mendapatkan Piala Adipura, adalah juga sebagai bentuk penghargaan, apresiasi atas sebuah perjuangan. Tahun 2010 lalu, Bupati Kabupaten Lampung Barat (Lambar) Drs. H. Mukhlis Basri, M.M. mendapat kehormatan menerima Piala Adipura kategori kota kecil yang diserahkan langsung Presiden SBY di Istana
Negara. Bagi Lambar, Piala Adipura adalah untuk pertama kalinya, setelah tahun-tahun sebelumnya akumulasi penilaian belum memenuhi standar yang telah ditentukan.
Sebab, dengan begitu seluruh komponen yang terlibat akan tersemangati dengan terus melakukan terobosan dan langkah kongkret meraihnya. Kerja keras, kekompakan, percaya diri, dan ulet, membuahkan hasil yang optimal. Tentu hal itu bukanlah puncak atau batas tertinggi pencapaian reputasi Lambar ke depan. Bisa diartikan terus berupaya mempertahankan tradisi kebersihan lingkungan secara berkelanjutan, sadar diri bagi warganya bahwa kebiasaan itu baik dan berguna.
Misalnya, keberadaan pohon pelindung atau peneduh ditanam di trotoar jalan protokol Liwa-Waymengaku, dikaji ulang. Betapa tidak, pohon ditanam di atas trotoar yang notabene area pejalan kaki yang mengganggu kenyamanan dan keamanan pejalan kaki.
Sebaliknya, kalaupun keberadaan pohon-pohon itu mesti dipertahankan, tentu harus ditata dan ditanami lagi. Sejauh ini, sejak penilaian berlangsung, pohon-pohon itu sebagian besar mati, sama seperti kasus serupa periode sebelumnya dimana ketika itu menanam palm.
Item lain yang tak kalah pentingnya harus diperhatikan, adalah kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan lingkungan dan mentradisikannya.
Termasuk juga selalu mengecek selokan atau drainase yang mampet, dimana hal itu bisa menciptakan peluang berkembangbiaknya nyamuk. Lainnya, adalah keberadaan lampu jalan yang tidak semuanya menyala, banyak bola putus.
Tapi yang pasti, diraihnya Piala Adipura merupakan pengakuan Pemerintah Pusat atas kerja keras dan prestasi Lambar dalam bidang kebersihan lingkungan kategori kota kecil. Persoalannya kemudian, beberapa bulan lalu tahun 2011 ini, Lambar tak lagi mendapatkan penghargaan Piala Adipura tersebut. Beberapa item kekhawatiran ternyata mendekati kebenaran adanya. Sehingga, Lambar pun gigit jari karena terlempar jauh kemerosotan nilainya dibanding kabupaten/kota lainnya di tanah air. ()
Rabu, 28 September 2011
Tidak ada komentar