Editorial - Kamis, 20 Oktober 2011
Masalah pertambangan di Kabupaten Lampung Barat (Lambar), ternyata tak sesederhana yang dibayangkan, utamanya bahan tambang golongan C. Dari sejumlah kawasan pertambangan yang terinventarisir, sebagian di antaranya dinyatakan tidak sehat karena melanggar aturan main yang ada, mulai dari perizinan bermasalah hingga pengabaian upaya pemulihan atau normalisasi lingkungan.
Karena itu, tak mengherankan ketika masalah pertambangan yang notabene lahan potensial dan menjanjikan tersebut juga tak begitu nyata menyumbangkan pemasukan ke kas daerah. Belum lagi menyangkut kinerja aparat pihak terkait yang terkesan setengah hati.
Betapa tidak, diketahui sejumlah indikasi atas keberadaan lokasi tambang golongan C tersebut, misalnya proyek-proyek fisik yang menyuplai material dari lokasi tambang yang diduga kuat tak mengantongi izin ini. Celakanya, pengelola proyek bahkan ada di antaranya yang menjabat aparatur pemerintah (peratin) tak menghiraukan masalah tersebut.
Sayangnya, sejauh ini belum ada sikap tegas pihak terkait, dalam hal ini Dinas Pertambangan dan Energi, Badan Lingkungah Hidup Kebersihan dan Pertamanan, Bagian Hukum, serta Satpol PP untuk menertibkannya. Dengan demikian, diakui atau tidak, keberadaan lokasi dan aktivitas penambangan di lokasi illegal tersebut seolah direstui dan secara tidak langsung memberi angin segar bagi pengelolanya.
Mencermati hal itu, sudah selayaknya bagi pihak terkait mengambil langkah tegas menertibkannya, baik secara administratif maupun pemulihan lingkungannya. Penutupan (sementara) lokasi tambang golongan C di Waytenong, merupakan langkah maju dan positif. Itu dimaksudkan sebagai upaya pembelajaran bagi calon penglola tambang lainnya untuk terlebih dahulu melengkapi administrasi perizinannya sebelum melakuan aktivitas.
Ini sekaligus membantah kinerja di satker itu vakum. Pasalnya selama ini ada tengara calon pengelola tambang tak mengutamakan masalah perizinan ini. Bukan hanya itu, niat baik mengurus perizinan dimaksud, yang semestinya adalah utama justru dinomorduakan, sehingga tidak mengherankan jika puluhan spot atau titik lokasi tambang yang ada tak mengantongi izin.
Ada juga yang izinnya tidak diperpanjang hingga bertahun-tahun. Ini tentu bukan lagi suatu keteledoran atau kekhilafan, tapi kesengajaan. Dengan demikian, sebetulnya data lokasi pertambagan ini cenderung dinamis setiap tahun, selalu berubah-ubah dan bertambah. Tapi sayangnya, pihak terkait tak memiliki data pasti soal ini. Selalu saja data terdahulu sekitar 3-4 tahun yang dipakai, dimana termasuk juga lokasi tambang yang tidak aktif (izinnya habis) tapi masih berproduksi.
Disayangkan memang, ketika fenomena tersebut tak hanya sebatas anggapan, di satu sisi pihak-pihak yang terlibat lamban menyikapinya. Sehingga hal itu mengesankan calon pengelola lokasi tambang diberi ruang untuk beraktivitas melangsungkan usahanya secara ilegal. Pemerintah sendiri mungkian tak pernah berpikiran jika sikap pembiaran seperti itu bakal menimbulkan dampak ikutan lain, seperti keengganan mengurusi masalah perizinan, dampak lingkungan yang tak terkendali, dan juga potensi kriminal yang sangat mungkin terjadi.
Oknum pengelola lokasi tak berizin itu juga cenderung berbuat melanggar hukum, mengancam bahkan bertindak anarkhis secara fisik terhadap siapa saja yang mencermati dan melakukan kontrol atas aktivitas tersebut. Belum lagi produk haram yang dihasilkan itu menjadi ‘halal’ manakala masuk dan disuplai ke proyek-proyek program pemerintah.
Mirisnya lagi, meski sudah nyata-nyata salah lantaran tak mengantongi izin, pelaku-pelaku yang terlibat jusru orang-orang yang ditokohkan, orang-orang yang mengerti masalah hukum, termasuk oknum peratin. Masalahnya, meski nyata proses perizinannya tak dilengkapi, tapi tambang-tambang illegal itu tetap beroperasi. Pertanyaannya, kenapa sampai sejauh ini belum ada tindakan tegas dari pemerintah dalam menertibkan ihwal perizinan tambang tersebut. (*)
Karena itu, tak mengherankan ketika masalah pertambangan yang notabene lahan potensial dan menjanjikan tersebut juga tak begitu nyata menyumbangkan pemasukan ke kas daerah. Belum lagi menyangkut kinerja aparat pihak terkait yang terkesan setengah hati.
Betapa tidak, diketahui sejumlah indikasi atas keberadaan lokasi tambang golongan C tersebut, misalnya proyek-proyek fisik yang menyuplai material dari lokasi tambang yang diduga kuat tak mengantongi izin ini. Celakanya, pengelola proyek bahkan ada di antaranya yang menjabat aparatur pemerintah (peratin) tak menghiraukan masalah tersebut.
Sayangnya, sejauh ini belum ada sikap tegas pihak terkait, dalam hal ini Dinas Pertambangan dan Energi, Badan Lingkungah Hidup Kebersihan dan Pertamanan, Bagian Hukum, serta Satpol PP untuk menertibkannya. Dengan demikian, diakui atau tidak, keberadaan lokasi dan aktivitas penambangan di lokasi illegal tersebut seolah direstui dan secara tidak langsung memberi angin segar bagi pengelolanya.
Mencermati hal itu, sudah selayaknya bagi pihak terkait mengambil langkah tegas menertibkannya, baik secara administratif maupun pemulihan lingkungannya. Penutupan (sementara) lokasi tambang golongan C di Waytenong, merupakan langkah maju dan positif. Itu dimaksudkan sebagai upaya pembelajaran bagi calon penglola tambang lainnya untuk terlebih dahulu melengkapi administrasi perizinannya sebelum melakuan aktivitas.
Ini sekaligus membantah kinerja di satker itu vakum. Pasalnya selama ini ada tengara calon pengelola tambang tak mengutamakan masalah perizinan ini. Bukan hanya itu, niat baik mengurus perizinan dimaksud, yang semestinya adalah utama justru dinomorduakan, sehingga tidak mengherankan jika puluhan spot atau titik lokasi tambang yang ada tak mengantongi izin.
Ada juga yang izinnya tidak diperpanjang hingga bertahun-tahun. Ini tentu bukan lagi suatu keteledoran atau kekhilafan, tapi kesengajaan. Dengan demikian, sebetulnya data lokasi pertambagan ini cenderung dinamis setiap tahun, selalu berubah-ubah dan bertambah. Tapi sayangnya, pihak terkait tak memiliki data pasti soal ini. Selalu saja data terdahulu sekitar 3-4 tahun yang dipakai, dimana termasuk juga lokasi tambang yang tidak aktif (izinnya habis) tapi masih berproduksi.
Disayangkan memang, ketika fenomena tersebut tak hanya sebatas anggapan, di satu sisi pihak-pihak yang terlibat lamban menyikapinya. Sehingga hal itu mengesankan calon pengelola lokasi tambang diberi ruang untuk beraktivitas melangsungkan usahanya secara ilegal. Pemerintah sendiri mungkian tak pernah berpikiran jika sikap pembiaran seperti itu bakal menimbulkan dampak ikutan lain, seperti keengganan mengurusi masalah perizinan, dampak lingkungan yang tak terkendali, dan juga potensi kriminal yang sangat mungkin terjadi.
Oknum pengelola lokasi tak berizin itu juga cenderung berbuat melanggar hukum, mengancam bahkan bertindak anarkhis secara fisik terhadap siapa saja yang mencermati dan melakukan kontrol atas aktivitas tersebut. Belum lagi produk haram yang dihasilkan itu menjadi ‘halal’ manakala masuk dan disuplai ke proyek-proyek program pemerintah.
Mirisnya lagi, meski sudah nyata-nyata salah lantaran tak mengantongi izin, pelaku-pelaku yang terlibat jusru orang-orang yang ditokohkan, orang-orang yang mengerti masalah hukum, termasuk oknum peratin. Masalahnya, meski nyata proses perizinannya tak dilengkapi, tapi tambang-tambang illegal itu tetap beroperasi. Pertanyaannya, kenapa sampai sejauh ini belum ada tindakan tegas dari pemerintah dalam menertibkan ihwal perizinan tambang tersebut. (*)
Tidak ada komentar