Editorial - Rabu, 02 November 2011
Dua program unggulan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Barat (Lambar), Pendidikan Gratis dan Berobat Gratis, layak diapresiasi sebagai wujud kepedulian dan kesungguhan menciptakan sumberdaya manusia yang mumpuni dan handal. Ide dasar program tersebut terilhami provinsi tetangga, Sumatera Selatan, yang telah lebih dahulu melaksanakannya dan sukses.
Di Lambar sendiri program itu diharapkan sukses, meski harus diakui cukup banyak catatan kekurangan dan atau kelemahannya. Mencermati hal itu pemkab dalam hal ini leading sector terkait telah pula melakukan evaluasi dan memperbaikinya demi kesempurnaan penerapannya ke depan. Sebab, diakui dalam menjalankan program tersebut banyak kendala, keluhan dan sekaligus masukan dari masyarakat secara umum.
Itu dimaksudkan sebagai upaya perbaikan ke depan agar pelayanan yang diberikan lebih dekat dan merata. Sebab, meski secara tegas kedua program itu telah dijalankan menurut aturan mainnya, tapi masih saja ada masukan dan kritik konstruktif dari hasil pelayanan terhadap masyarakat. Intinya, pelayanan yang diberikan masih perlu ditingkatkan. Sebab, ternyata faktanya terdapat ekses dalam penerapannya di lapangan.
Pada program Pendidikan Gratis, misalnya, sebagian orangtua atau walimurid kerap mempertanyakan ihwal penarikan sejumlah dana dari siswa berikut peruntukannya. Sebab jika dikalkulasi masih saja sama atau nyaris tidak ada perubahan besarannya dibandingkan sebelum digratiskan. Dengan demikian, tidak heran ketika sejumlah walimurid mempersoalkan hal tersebut sebatas perbincangan yang tidak pernah disampaikan ke sekolah.
Ihwal digratiskan atau tidak, ternyata tetap ada kewajiban membayar sejumlah uang demi memenuhi item penarikan dimaksud. Kesimpulannya, baik setelah digratiskan maupun sebelum digratiskan, walimurid tetap harus membayar. Hanya namanya saja yang berbeda tapi fakta dan praktiknya di lapangan kurang lebih sama. Setali tiga uang.
Hal serupa juga terjadi pada program Berobat Gratis. Pada praktiknya masih ada yang mengeluhkannya di lapangan. Mulai dari pelayanan yang dianggap kurang optimal, hingga ketersediaan stok obat yang minim jika tidak mau dikatakan kosong. Pelayanan dan obat ini sebetulnya berkaitan erat, bak sebuah mata uang dengan kedua sisinya. Pelayanan akan baik manakala ketersediaan obatnya mencukupi. Sementara faktanya terutama di puskesmas maupun pustu, stok obat yang tersedia jauh dari yang diharapkan.
Ada semacam keharusan upaya mensinergikan kedua program tersebut agar berjalan seiring ke depan dan lebih sukses. Artinya harus pula diimbangi perbaikan setelah evaluasi dilakukan. Misalnya, menertibkan petugas kesehatan (paramedis) nakal yang kerap tidak masuk kerja pada jam dinas atau petugas apotek yang sama dengan harga bervariasi. Selain itu, kontrol atas ketersediaan obat-obatan juga tetap dilakukan setiap hari. Sebab, orang sakit itu tidak ada jadualnya. Dengan demikian ketersediaan stok obat juga demikian.
Hal tak kalah penting lainnya adalah pemeretaan penempatan petugasnya. Saat ini, harus diakui masalah penempatan itu tetap menjadi prioritas yang seyogianya dilakukan. Terlebih bagi paramedis yang baru masuk atau bertugas. Sama dengan obat-obatan, kontrol terhadap penempatan dan kinerja (tingkat kehadiran) paramedis ini juga harus dilakukan secara ketat. Dengan demikian tidak ada lagi alasan paramedis tidak ada di tempat saat pasien datang berobat.
Hal serupa juga harus dilakukan di bidang pendidikan. Jangan pernah ada lagi terdangar dan didapatkan sekolah menarik dana penidikan yang peruntukannya tidak jelas. Sebab, yang namanya dana itu sangat sensitif dan walimurid biasanya selalu mempertanyakannya. Termasuk juga ihwal penempatan tenaga pengajar atau guru-gurunya, harus merata. Sebab, ada kecenderungan guru-guru yang ditempatkan terkonstentarsi pada daerah-daerah ramai atau kota, sebaliknya enggan ke daerah terpencil. Jika kebiasaan seperti ini tak dirubah, maka selamanya upaya pemerataan guru-gurunya, akan jalan di tempat alias tidak ada perkembagannya ke arah lebih baik. (*)
Rabu, 02 November 2011
Di Lambar sendiri program itu diharapkan sukses, meski harus diakui cukup banyak catatan kekurangan dan atau kelemahannya. Mencermati hal itu pemkab dalam hal ini leading sector terkait telah pula melakukan evaluasi dan memperbaikinya demi kesempurnaan penerapannya ke depan. Sebab, diakui dalam menjalankan program tersebut banyak kendala, keluhan dan sekaligus masukan dari masyarakat secara umum.
Itu dimaksudkan sebagai upaya perbaikan ke depan agar pelayanan yang diberikan lebih dekat dan merata. Sebab, meski secara tegas kedua program itu telah dijalankan menurut aturan mainnya, tapi masih saja ada masukan dan kritik konstruktif dari hasil pelayanan terhadap masyarakat. Intinya, pelayanan yang diberikan masih perlu ditingkatkan. Sebab, ternyata faktanya terdapat ekses dalam penerapannya di lapangan.
Pada program Pendidikan Gratis, misalnya, sebagian orangtua atau walimurid kerap mempertanyakan ihwal penarikan sejumlah dana dari siswa berikut peruntukannya. Sebab jika dikalkulasi masih saja sama atau nyaris tidak ada perubahan besarannya dibandingkan sebelum digratiskan. Dengan demikian, tidak heran ketika sejumlah walimurid mempersoalkan hal tersebut sebatas perbincangan yang tidak pernah disampaikan ke sekolah.
Ihwal digratiskan atau tidak, ternyata tetap ada kewajiban membayar sejumlah uang demi memenuhi item penarikan dimaksud. Kesimpulannya, baik setelah digratiskan maupun sebelum digratiskan, walimurid tetap harus membayar. Hanya namanya saja yang berbeda tapi fakta dan praktiknya di lapangan kurang lebih sama. Setali tiga uang.
Hal serupa juga terjadi pada program Berobat Gratis. Pada praktiknya masih ada yang mengeluhkannya di lapangan. Mulai dari pelayanan yang dianggap kurang optimal, hingga ketersediaan stok obat yang minim jika tidak mau dikatakan kosong. Pelayanan dan obat ini sebetulnya berkaitan erat, bak sebuah mata uang dengan kedua sisinya. Pelayanan akan baik manakala ketersediaan obatnya mencukupi. Sementara faktanya terutama di puskesmas maupun pustu, stok obat yang tersedia jauh dari yang diharapkan.
Ada semacam keharusan upaya mensinergikan kedua program tersebut agar berjalan seiring ke depan dan lebih sukses. Artinya harus pula diimbangi perbaikan setelah evaluasi dilakukan. Misalnya, menertibkan petugas kesehatan (paramedis) nakal yang kerap tidak masuk kerja pada jam dinas atau petugas apotek yang sama dengan harga bervariasi. Selain itu, kontrol atas ketersediaan obat-obatan juga tetap dilakukan setiap hari. Sebab, orang sakit itu tidak ada jadualnya. Dengan demikian ketersediaan stok obat juga demikian.
Hal tak kalah penting lainnya adalah pemeretaan penempatan petugasnya. Saat ini, harus diakui masalah penempatan itu tetap menjadi prioritas yang seyogianya dilakukan. Terlebih bagi paramedis yang baru masuk atau bertugas. Sama dengan obat-obatan, kontrol terhadap penempatan dan kinerja (tingkat kehadiran) paramedis ini juga harus dilakukan secara ketat. Dengan demikian tidak ada lagi alasan paramedis tidak ada di tempat saat pasien datang berobat.
Hal serupa juga harus dilakukan di bidang pendidikan. Jangan pernah ada lagi terdangar dan didapatkan sekolah menarik dana penidikan yang peruntukannya tidak jelas. Sebab, yang namanya dana itu sangat sensitif dan walimurid biasanya selalu mempertanyakannya. Termasuk juga ihwal penempatan tenaga pengajar atau guru-gurunya, harus merata. Sebab, ada kecenderungan guru-guru yang ditempatkan terkonstentarsi pada daerah-daerah ramai atau kota, sebaliknya enggan ke daerah terpencil. Jika kebiasaan seperti ini tak dirubah, maka selamanya upaya pemerataan guru-gurunya, akan jalan di tempat alias tidak ada perkembagannya ke arah lebih baik. (*)
Rabu, 02 November 2011
Tidak ada komentar