Editorial - Selasa, 01 Nopember 2011
Secara harfiah, kata asusila berarti perbuatan atau tingkah laku tak lazim, menyimpang dari norma-norma dan kaidah kesopanan yang cenderung terjadi kalangan masyarakat, terutama remaja. Jika susila artinya baik, maka asusila berarti tidak baik tingkah lakunya. Seperti yang terjadi di salah satu SMPN Kecamatan Waykrui Kabupaten Lampung Barat (Lambar) belum lama ini. Diduga kuat, seorang oknum siswa kelas IIX berinisial Ang (14) melakukan tindak asusila terhadap Ast yang tak lain adalah teman sekelasnya di dalam ruang kelas sekolah tersebut. Orangtua Ast akhirnya meneruskan permasalahan itu ke jalur hukum karena merasa dirugikan dan dipermalukan.
Menurut pandangan Islam melalui Al Quran dan sunnah rasulnya yang telah membingkai kehidupan manusia agar menjadi indah dan terpelihara dari kerusakan moral, tinggi-rendahnya spiritualitas (rohani) pada suatu masyarakat berkaitan erat dengan segala perilakunya. Bukan saja tata perilaku yang bersifat ibadah khusus, seperti solat dan berpuasa, lebih dari itu perilaku yang bersifat ibadah umum berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Terlebih ketika perbuatan tak terpuji tersebut dilakukan justru di dalam lingkungan sebuah lembaga pendidikan, ini tentu akan menjadi pertanyaan: kenapa bisa terjadi?
Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Tapi yang tak terbantahkan hal itu telah terjadi. Akibatnya, siswa yang merasa menjadi korban merasa malu, demikian juga dengan orangtua dan keluarga besarnya. Ketika hal itu dipermasalahkan secara hukum, beberapa pihak terkait mestinya mencermati fenomena dimaksud. Baik oknum siswa pelaku dan orangtuanya sendiri, termasuk juga korban dan orangtuanya, juga pihak sekolah dalam hal ini dewan guru dan kepala sekolah, serta Dinas Pendidikan juga komite sekolah. Ini dimaksudkan agar perbuatan cemar tersebut bisa dipulihkan nama baik yang merasa dirugikan, serta yang lebih penting hal serupa takkan pernah terulang lagi.
Kebijakan pihak sekolah mengeluarkan oknum siswa bersangkutan, hanyalah salah satu item penting dari upaya penyelamatan nama baik sekolah itu sendiri. Untuk selanjutnya, apakah korban merasa yakin akan melanjutkan penidikan dengan tidak terbebani oleh perasaan malu yang selalu menghantuinya. Demikian juga dengan pelaku, apakah masa pendidikannya juga akan menjadi korban lantaran perbuatannya sendiri. Penting bagi pihak terkait juga memikirkan kelangsungan atau kelanjutan masalah pendidikan keduanya. Punish atau hukuman bagi pelaku dan upaya pemulihan maupun pemberian semangat bagi korban bukanlah hal yang harus dipertentangkan selamanya, harus dipikirkan jalan keluar terbaiknya juga.
Apakah dengan serta-merta mengeluarkan pelaku dari sekolah tersebut menjadi jaminan hal serupa tidak terulang lagi di sekolah itu dan di lembaga pendidikan lainnya di Lambar. Tak ada kepastian, bukan? Artinya harus ada upaya rehabilitasi dan juga pembenahan secara holistik, mensinergikan seluruh komponen pendidikan itu sendiri untuk bagaimana merubah tingkah-laku peserta didik. Bagaimana menciptakan generasi muda yang berwawasan, berpendidikan, dan berakhlakul karimah, itu adalah pertanyaan mendasarnya yang harus dijawab. Seorang siswa, bukan hanya ditempa di sekolah, tapi juga di dalam keluarga dan di tengah masyarakat.
Upaya penggemblengan seorang siswa tersebut dilakukan di rumah. Di rumah, dia akan mencontoh perilaku kedua orangtua dan keluarga besarnya. Di lembaga pendidikan, dia akan mencontoh atau melakukan apa-apa yang diajarkan kepadanya. Demikian juga di lembaga pendidikan nonformal atau kegiatan ekstra kurikuler lainnya, seorang siswa akan berusaha mengikuti apa-apa yang diajarkan kepada dirinya, bahkan berbuat maksimal untuk mencapai prestasi optimal. Jadi, jatidiri seorang siswa akan terbentuk tidak hanya di lembaga pendidikan formal semata, tapi juga melalui lingkungan yang lebih luas. (*)
Selasa, 01 Nopember 2011
Menurut pandangan Islam melalui Al Quran dan sunnah rasulnya yang telah membingkai kehidupan manusia agar menjadi indah dan terpelihara dari kerusakan moral, tinggi-rendahnya spiritualitas (rohani) pada suatu masyarakat berkaitan erat dengan segala perilakunya. Bukan saja tata perilaku yang bersifat ibadah khusus, seperti solat dan berpuasa, lebih dari itu perilaku yang bersifat ibadah umum berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Terlebih ketika perbuatan tak terpuji tersebut dilakukan justru di dalam lingkungan sebuah lembaga pendidikan, ini tentu akan menjadi pertanyaan: kenapa bisa terjadi?
Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Tapi yang tak terbantahkan hal itu telah terjadi. Akibatnya, siswa yang merasa menjadi korban merasa malu, demikian juga dengan orangtua dan keluarga besarnya. Ketika hal itu dipermasalahkan secara hukum, beberapa pihak terkait mestinya mencermati fenomena dimaksud. Baik oknum siswa pelaku dan orangtuanya sendiri, termasuk juga korban dan orangtuanya, juga pihak sekolah dalam hal ini dewan guru dan kepala sekolah, serta Dinas Pendidikan juga komite sekolah. Ini dimaksudkan agar perbuatan cemar tersebut bisa dipulihkan nama baik yang merasa dirugikan, serta yang lebih penting hal serupa takkan pernah terulang lagi.
Kebijakan pihak sekolah mengeluarkan oknum siswa bersangkutan, hanyalah salah satu item penting dari upaya penyelamatan nama baik sekolah itu sendiri. Untuk selanjutnya, apakah korban merasa yakin akan melanjutkan penidikan dengan tidak terbebani oleh perasaan malu yang selalu menghantuinya. Demikian juga dengan pelaku, apakah masa pendidikannya juga akan menjadi korban lantaran perbuatannya sendiri. Penting bagi pihak terkait juga memikirkan kelangsungan atau kelanjutan masalah pendidikan keduanya. Punish atau hukuman bagi pelaku dan upaya pemulihan maupun pemberian semangat bagi korban bukanlah hal yang harus dipertentangkan selamanya, harus dipikirkan jalan keluar terbaiknya juga.
Apakah dengan serta-merta mengeluarkan pelaku dari sekolah tersebut menjadi jaminan hal serupa tidak terulang lagi di sekolah itu dan di lembaga pendidikan lainnya di Lambar. Tak ada kepastian, bukan? Artinya harus ada upaya rehabilitasi dan juga pembenahan secara holistik, mensinergikan seluruh komponen pendidikan itu sendiri untuk bagaimana merubah tingkah-laku peserta didik. Bagaimana menciptakan generasi muda yang berwawasan, berpendidikan, dan berakhlakul karimah, itu adalah pertanyaan mendasarnya yang harus dijawab. Seorang siswa, bukan hanya ditempa di sekolah, tapi juga di dalam keluarga dan di tengah masyarakat.
Upaya penggemblengan seorang siswa tersebut dilakukan di rumah. Di rumah, dia akan mencontoh perilaku kedua orangtua dan keluarga besarnya. Di lembaga pendidikan, dia akan mencontoh atau melakukan apa-apa yang diajarkan kepadanya. Demikian juga di lembaga pendidikan nonformal atau kegiatan ekstra kurikuler lainnya, seorang siswa akan berusaha mengikuti apa-apa yang diajarkan kepada dirinya, bahkan berbuat maksimal untuk mencapai prestasi optimal. Jadi, jatidiri seorang siswa akan terbentuk tidak hanya di lembaga pendidikan formal semata, tapi juga melalui lingkungan yang lebih luas. (*)
Selasa, 01 Nopember 2011
Tidak ada komentar