Editorial (13 April 2012)
Tindak lanjut ujicoba Bandara Serai Krui Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat (Lambar) 2011 lalu, terus dipertanyakan warga. Terlebih, ketika itu pejabat terkait mengatakan akan segera meneruskan beberapa item pembangunan prasarana dan sarana yang terbengkalai karena keterbatasan dana. Banyak pihak menengarai ujicoba tersebut terlalu prematur, fasilitas pendukung yang ada jauh dari memadai alias belum siap. Namun karena beberapa alasan, terutama alasan politis, sehingga bandara kebanggaan warga pesisir itu tetap diujicobakan.
Kini, nasibnya juga semakin tak jelas. Pemerintah nampaknya enggan menyinggung ihwal dimaksud dalam berbagai kegiatan, termasuk saat musyawarah perencanan pembangunan (musrenbang). Atau mungkin juga disadari karena sumber pendanaannya dari pusat, sehingga kalaupun diperdebatkan di tingkat kabupaten serasa hambar dan percuma. Tapi jangan lupa, hanya sedikit masyarakat yang berkeinginan mengetahui sumber pendanaan dimaksud, yang paling diinginkan adalah pembangunannya ditindaklanjuti.
Dengan demikian, yang paling dipusingkan atas tertundanya (baca: terbengkalainya) pembangunan bandara tersebut adalah pemerintah daerah. Masyarakat tahunya bandara itu ada dan dioperasionalkan, terlepas darimana sumber pendanaannya. Apalagi, ketika itu, saat ujicoba dulu, banyak pihak yang ikut terlarut dalam keyakinannya bahwa bandara tersebut segera dioperasionalkan setelah diujicobakan. Dalam persepsi masyarakat, ujicoba adalah sebuah momentum awal dimana bandara akan beroperasi untuk selamanya.
Jalan tengah yang mesti dipertimbangkan pemerintah, sebetulnya menindaklanjuti item pembangunannya, sehingga bandara rampung dan segera dioperasikan. Tapi tentu dalam pelaksanaannya tidak sesedarhana itu. Buktinya hingga saat ini harapan tersebut belum ada tindaklanjutnya secara nyata. Alih-alih ditindaklanjuti, fasilitas yang ada pun kini mulai ada yang mengalami kerusakan. Ini sangat disayangkan ketika fasilitas rusak belum dipakai atau difungsikan. Bukan percuma, tapi kenapa harus terlantar. Penyebabnya tentu multikompleks, mulai dari ketiadaan sumber pendanaanya, dan lain-lain.
Bagi masyarakat, ujicoba yang dinilai prematur itu tidak lain hanya untuk membuat hati gembira. Karenanya, pemerintah mungkin merasa tersanjung atas hal itu. Tapi jangan lupa, sanjungan tersebut akan hambar manakala tidak ada tindak lanjutnya. Sebab, yang diinginkan masyarakat adalah lebih dari itu. Penundaan pembangunan fasilitas di bandara ini mengait pada item lain yang menjadi aset daerah yang nasibnya juga sama. Sebut saja pembangunan Pelabuhan Nusantara di Bengkunat, Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT) di Marang Pesisir Selatan, atau Kawasan Wisata Terpadu (KWT) Lumbok Seminung Resort di Lumbokseminung yang kini bukan hanya tidak produktif tapi justru membebani.
Jadi artinya, sebetulnya banyak aset di Lambar yang belum difungsikan normal dan jauh dari menghasilkan seperti yang disebutkan di atas. Apakah dengan jadinya bandara ini nanti ada jaminan tetap dioperasikan dan menghasilkan. Ini diperlukan studi yang mendetil agar apapun yang dibangun menjadi aset yang produktif. Sebab, dana yang digelontorkan untuk membiayai pembangunannya juga tidak sedikit, mencapai puluhan miliar rupiah. Hal ini harusnya menjadi pertimbangan ke depan, mungkin sebaiknya dana yang diplot untuk membangun megaproyek semisal KWT Lumbokseminung Resort, KUAT, Pelabuhan Nusantara dan bandara, dibangunkan fasilitas lain seperti sekolah-sekolah kejuruan atau usaha rumahan yang memberdayakan ibu-ibu rumah tangga. (*)
Kini, nasibnya juga semakin tak jelas. Pemerintah nampaknya enggan menyinggung ihwal dimaksud dalam berbagai kegiatan, termasuk saat musyawarah perencanan pembangunan (musrenbang). Atau mungkin juga disadari karena sumber pendanaannya dari pusat, sehingga kalaupun diperdebatkan di tingkat kabupaten serasa hambar dan percuma. Tapi jangan lupa, hanya sedikit masyarakat yang berkeinginan mengetahui sumber pendanaan dimaksud, yang paling diinginkan adalah pembangunannya ditindaklanjuti.
Dengan demikian, yang paling dipusingkan atas tertundanya (baca: terbengkalainya) pembangunan bandara tersebut adalah pemerintah daerah. Masyarakat tahunya bandara itu ada dan dioperasionalkan, terlepas darimana sumber pendanaannya. Apalagi, ketika itu, saat ujicoba dulu, banyak pihak yang ikut terlarut dalam keyakinannya bahwa bandara tersebut segera dioperasionalkan setelah diujicobakan. Dalam persepsi masyarakat, ujicoba adalah sebuah momentum awal dimana bandara akan beroperasi untuk selamanya.
Jalan tengah yang mesti dipertimbangkan pemerintah, sebetulnya menindaklanjuti item pembangunannya, sehingga bandara rampung dan segera dioperasikan. Tapi tentu dalam pelaksanaannya tidak sesedarhana itu. Buktinya hingga saat ini harapan tersebut belum ada tindaklanjutnya secara nyata. Alih-alih ditindaklanjuti, fasilitas yang ada pun kini mulai ada yang mengalami kerusakan. Ini sangat disayangkan ketika fasilitas rusak belum dipakai atau difungsikan. Bukan percuma, tapi kenapa harus terlantar. Penyebabnya tentu multikompleks, mulai dari ketiadaan sumber pendanaanya, dan lain-lain.
Bagi masyarakat, ujicoba yang dinilai prematur itu tidak lain hanya untuk membuat hati gembira. Karenanya, pemerintah mungkin merasa tersanjung atas hal itu. Tapi jangan lupa, sanjungan tersebut akan hambar manakala tidak ada tindak lanjutnya. Sebab, yang diinginkan masyarakat adalah lebih dari itu. Penundaan pembangunan fasilitas di bandara ini mengait pada item lain yang menjadi aset daerah yang nasibnya juga sama. Sebut saja pembangunan Pelabuhan Nusantara di Bengkunat, Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT) di Marang Pesisir Selatan, atau Kawasan Wisata Terpadu (KWT) Lumbok Seminung Resort di Lumbokseminung yang kini bukan hanya tidak produktif tapi justru membebani.
Jadi artinya, sebetulnya banyak aset di Lambar yang belum difungsikan normal dan jauh dari menghasilkan seperti yang disebutkan di atas. Apakah dengan jadinya bandara ini nanti ada jaminan tetap dioperasikan dan menghasilkan. Ini diperlukan studi yang mendetil agar apapun yang dibangun menjadi aset yang produktif. Sebab, dana yang digelontorkan untuk membiayai pembangunannya juga tidak sedikit, mencapai puluhan miliar rupiah. Hal ini harusnya menjadi pertimbangan ke depan, mungkin sebaiknya dana yang diplot untuk membangun megaproyek semisal KWT Lumbokseminung Resort, KUAT, Pelabuhan Nusantara dan bandara, dibangunkan fasilitas lain seperti sekolah-sekolah kejuruan atau usaha rumahan yang memberdayakan ibu-ibu rumah tangga. (*)
Tidak ada komentar