Puisi Karya Firdaus Akmal
PUISI PUISI KARYA FIRDAUS AKMAL
TAFA’ULAN
Hey !
Sajakmu (sok)
sekebat kapela kau tiang-kan memanggul kekata
semaklumnya jika seketika pepasang netra berkelinjat meraba – raba
namun ada yang kau atapkan
dalam doa yang diukirkan jejendela
namun ada yang kau pintukan
dalam kaki pengekor yang di-tangan-kan bebait suara
namun ada yang kau luberkan :
dua petak kolam yang senantiasa menerima langit dari hujan
kolam di lantai dua itu :
senantiasa mempersilakan mega, teja, kemintang dan rembulan
berenang atas nama bayang – bayang
kau bilang :
di lantai satu
kolam kecil tengah berjaga kalau – kalau seisi kolam sudah penuh
!
_ ( ku )
Semarang, 7 Pebruari 2016
NANAR
(Buat Gus Dur : sebagai Presiden dan sebagai Gus Dur)
Rinduku nanar, menggurita di ujung runcing bara, mengempik gegar angin yang makin liar melukis jerit dalam retak kaca : ribu getir menelanjangi ratu jalanan melarat, pucat mata kabut mendelik sisa udara digagahi kursi – kursi beratap setanggi.
Rinduku nanar, menjala sejuta warna : darah, nanah dan muntah. Segala ombak mencekik kamar – kamar pemimpi. Sepi dan sunyi membakar wangi telaga : tempat mereka berkaca – kaca, memahat angkasa yang selalu pudar.
Rinduku nanar, berlabuh di dermaga peraduan : Memesan suara – suara di sela hela, Mematung lilin – lilin yang gagah memecah kerang malam.
Rindu ku nanar, seolah memesan perahu yang belasan tahun lalu berlayar. Ada kelasi kenamaan menunggangi perahu ini. Setidaknya nanar rindu memagut sabdanya tentang perdamaian air dan api.
Semarang, 7 Pebruari 2015
FRAGMEN TENTANG BAYI – BAYI RANDU
Bayi – bayi randu tengah duduk bersandar pada genang rakit – rakit bambu.
Mekar jemarinya menggerayangi tiang – tiang langit
sebagai kelopak – kelopak kipas yang menghibahkan udara :
menjelma paksi – paksi merpati
Sedang unggunan kerlip kelemanyar serupa bala serdadu :
saling memagut pundak membingkai sudut – sudut rakit.
memasung ombak, meranumkan buah dada, menyanggul selia :
sebagai tudung paduka bayi
Rakit randat merandai membelah larik – larik padma
Sesampainya di muara, bayi – bayi randu merangkaki dinding maja
menyakukan
ranum
buah
(?)
Semarang, 8 Pebruari 2016
SAJAK OMBAK
Kami anak pesisir
Namun kini merasa asing dengan air
kerna suara ombak tempat kami bersenda
telah berbeda dengan gelak bocah di pagi buta,
belasan tahun lalu
terang saja kami suka warna jingga,
sebab di sudut pagi dan senja
sayap mentari merangkam malam
serupa jemari menyulam tilam
yang koyak tersayat runcing pisau
acap kali angin laut berarak mengoyak
rembulan merebah dalam pangkuan gelut ombak
hingga tenggelam dalam mimpi malam
tersebab mencium bayangnya yang menelan kelam
di dermaga bertaut malka kelasi
yang kalah dirayu layar perahu
yang tabah menanti dan menantang sunyi,
Ihwal seribu tekat yang membatu
Ombak yang galak berkabar tentang perantau malam
yang menanggalkan kesangsian atas mara yang mencekam
Semarang, 26 Januari 2016
SUROYA DI ATAS SEROJA
Padang kekerlip suroya ziarah ke pangkuan wajah seroja
Yang senantiasa atas gegenang kali kikus bergoyang
Memenuhi sabda pawana yang mungkin selalu sederhana
Adalah sahda dedoa wangi sajadah bebunda
Yang memagut sesuara putranya pada angkasa kemintang
Sebagai kekata yang tak di-kamus-kan dialeg nusia
Semarang, 27 Pebruari 2016
KEPADA PENDUDUK SINGGASANA YANG MELUPA
Apa kabarmu pagi ini? sudahkah kau meminum kopi dan mengganti celanamu yang menanggalkan sisa bercak dalam perjalananmu semalam ?
Aku sekadar ingin membiarkan gerutu di dadaku telanjang kali ini, untuk sejenak bicara padamu..
Nampakya waktu duduk di bangku kuliah dulu kau sempat mengkaji studi politik, bung. Sayang tak satupun teori terekam dalam pemahaman yang matang. Sebenarnya bukan itu problemnya. Hanya saja kau terlalu terobsesi dan radikal untuk menguasai salah satu konsep politik : “ kekuasaan“. Lalu kau nyanyikan konsep itu dalam tidur – tidur malammu, hingga menjelma kartika asa yang pendarnya tak bisa kau lupa.... dan dalam sebuah ruang mimpimu, kau menjelma raja yang tengah duduk dalam pangkuan putri kaliandra, bercumbu rayu dengan paksi asoka, sedang putik mimpimu tengah menjelma mahkota, sehingga yang terlintas dalam benakmu hanyalah sisa senyuman kumbang yang tengah puas dengan bentuk dada barunya yang semakin merayumu untuk melepaskan kancing baju dinasmu satu per-satu lalu sejenak bercerita di atas ranjang dan selimut yang baru saja kau ganti... sesekali kau rebahkan wajahmu di sela – sela rembulan yang malu – malu menampakkan sinarnya yang telah menjelma tali di dada selirmu yang indah...
Cerita tadi telah kau selesaikan,, kini kau tengah siap merumuskan peraturan – peraturan dan kebijakan baru bersama kawan seperjuanganmu : anggota Dewan yang mewakili rakyat... namun aku ingatkan, jangan sampai lupa tujuanmu dari awal, kerna kau tahu bahwa tujuan berpolitik adalah mencapai angan yang telah dimimpikan..Jadi, kau rumuskan kebijakan – kebijakan mutakhir, utamanya tentang hukum yang sudah biasa berkolaborasi dengan titah dewan pemerintah.
Baik, kau bikin peraturan remunerasi saja, andai suatu ketika salah satu kawanmu atau kau sendiri terjebak dalam kasus korupsi kau masih sedikit merdeka dan selirmu nanti malam masih bisa tertawa.. tapi kuingatkan kawan, kau tak usah terlalu cemas, kerna rakyat Indonesia masih rancu untuk sekadar memahami tata bahasa : sekarang masih berlaku bahwa istilah koruptor hanya merujuk pada pihak yang secara terang ketahuan dan tertangkap basah melakukan tindak korupsi, selama belum tertangkap kau masih dewan yang tampan dan citramu masih menawan..
Namun, ku ikhbarkan juga kawan, ikhwal jas almamater universitasmu yang hingga kini masih tergantung di antara kemeja dan dasi di salah satu almarimu yang lunglai dalam kecewa. Ada juga pamflet perjuangan yang kau lantangkan dalam orasi kebangsaan kini tengah telanjang dan meneteskan perih di atas jejak kaki tukang becak renta yang tak dapat menyembunyikan nestapa dari wajahnya kerna tangis anaknya yang meronta kerna harus membakar sisa mimpinya tentang sarjana, sedang asapnya terlalu memedihkan mata hingga airnya tak bisa kau seka..
Jika memang suratku tadi hanya tentang kisah negeri seberang yang hinggap di mimpiku semalam, aku harap kau membalas suratku dan sisipkan sebuah cermin dan potret suratku tadi agar aku dapat berkaca dan membaca suratku sendiri yang telah terkirim kepadamu ...
belum selesai bung,
kerna di ujung garis lembar ini pun kurasa belum kubariskan bait yang sempurna untuk sejenak merehatkan pena..
Semarang, 12 Januari 2016
Tentang Penulis: Firdaus Akmal, lahir di Pekalongan pada 11 Oktober 1996. Sedang menempuh S1 dengan konsentrasi Pendidikan IPS di UNNES. Sebelumnya bersekolah di MIS KAUMAN, MTs Darul Amanah Kendal, satu tahun pindah ke MTs S Simbangkulon Pekalongan, MAS Simbangkulon Pekalongan. Alhamdulillah, Pada 12 Pebruari 2016 kemarin Ia mendapatkan juara 1 lomba cipta puisi yang dibukukan dalam antologi Kembang Api (Vol.1) ( Ellunar, 2016 ). Juara 2 cipta puisi SSAN, Tribute To Chairil ( Rumah Kita, 2016 ). Puisi Terbaik Oase Pustaka (2016). Ayahnya bernama Abdurrochim dan Ibunya bernama Nurhidayati. Banyak pelajaran kehidupan yang ia dapat dari mereka. Fb : facebook.com/firdaus.akmal92 . Hp. 085878617085.
(kirimkan puisi anda untuk di publikasikan ke alamat e-mail: rhamsyahrh@gmail.com dengan format non file, langsung ke laman e-mail. Atau juga bisa kirimkan karya puisi anda ke inbox akun fb Riduan Hamsyah. Sertakan judul puisi, nama asli penulis, biodata ringkas. Kami tidak akan memuat naskah yg tidak mengikuti ketentuan tersebut)
Tidak ada komentar