Puisi Malam Minggu Edisi-20 Karya Anak Lampung Barat
PERTEMUAN DI TAMAN HENING
Karya M hidayat
Di balik semak belukar
sesekali cahaya kunang-kunang
berkelip kelip
dengan warna hijau toska.
Harum melati,
bersambung cempaka
silih berganti menusuk,
penciumanku
membuat diriku ketakutan.
Lampu-lampu taman,
masih padam
namun awan hitam,
yang bergulung-gulung
lenyap seketika.
Cahaya bintang dan bulan
kembali terlihat,
angin mengalir
di dahan-dahan cemara.
Cahaya bulan berkilauan
menyipu rinduku, padamu
wahai kekasihku.
25/06/2016, Tanjung Raya, Kecamatan Sukau
AYAH
Karya M hidayat
Pagi, siang, dan malam
tiada henti, kerja keras
demi sibuah hati.
Walau panas dan hujan
tiada mengeluh
semangat, yang tak pernah luluh.
Cinta kasihnya,
tak pernah terhenti
Pengorbanannya,
sungguh sangat berarti.
Walau,
berat beban yang harus
Kau tempuh
semangamu,
yang tak pernah luluh.
Ayah,
maafkan salah serta dosaku
sembah sujud, dan baktiku
kuhaturkan padamu.
Ya allah,
sayangilah ayah
seperti sayangnya padaku.
Ya allah,
cintailah ayah
seperti cintanya padaku.
Talang Delapan, 01/07/2016
SISI GELAPKU
Karya Q Alsungkawa.
Rindu bersyair, dari titik sunyi, dan kehampaan hatiku.
Ingin aku pergi jauh
sendiri, hanya sendiri.
Dan aku berlindung pada
sayap-sayap gelap
bercengkrama dengan
suara-suara malam
berpuisi, untuk sendiri
bersajak, sekedar bersapa
pada dinding-dinding tebing.
Tersenyum pada bintang
bermandi cahaya rembulan
berkelakar pada kenari
di pagi hari
dalam arti sunyi.
Ciptamulya 1 juli 2016, Kebun tebu, Lampung barat.
PRUSTASI
Karya Q Alsungkawa.
Pada pucuk-pucuk cemara
menggantung harapan, dan embun pagi yang melumuri daun-daun, menetes di air mata, mengalir di pelipis sungai Musi, menjelma lara, melintasi tiang-tiang Ampera.
Dan kuala di tepian laut, tujuan air mata, hanyutkan butiran kesedihan, hingga riak-riak menyambut anak-anak ombak berbaur, bergumul mencampakan butiran pasir kebencian, bersambut badai menerjang karang kebekuan, dari benci se-seorang, hingga lupa tentang norma-norma yang dibekalkan dalam pepatah.
Dan jiwa-jiwa sunyi
berontak pada kenyataan, menancap kebencian pada kasih, bertengkar dengan cinta, membualkan bahasa yang kerdil, menepi dari raut kejujuran asmara, membentuk dunia dari tempurung, dan menganggap semua mata adalah aib dan syair cinta adalah petir, menghujam gendang telinga.
Sungguh malang jiwa yang kering, tandus di tepian gangga.
Tidaklah kau mengerti sucinya air gangga, dan murninya Zam-Zam, sajadah putih jalan hidup dari penyerahan diri pada sang peneguh, di mana damai dapat kau peluk, bukan menggantungkan harapan pada pucuk-pucuk cemara.
Ciptamulya 30 juni 2016, Kebun tebu, Lampung Barat.
PRAHARA DIBALIK DENGKI
Karya Aan hidayat
Mengapa ego kuasai hati
leburkan cerah rona jiwa.
Kemelut di langit rumah,hitam pekat menutup jarak pandang.
Sungguh naif bagi sang raga, terkulai lemah di atas murka.
Hujat kedengkian penuhi ruang hitam
membahana selaksa gemuruh badai beliung hancurkan dunia.
Yaa...
Naif bagimu bumi
jika prahara Ego dan kedengkian tak kunjung reda
seiring hari kian senja.
Gunung Sugih Liwa , 27 juni 2016
SAPAAN ALAM
Karya Aan Hidayat
Masih terasa di kala gersang, debu pilu dan air mata kekeringan.
Seolah singkat, waktu itu berlalu.
Kini bumi bergemuruh
badai melanda juga sungai-sungai murka.
Luluh-lanta asa karenanya
hingar bingar jerit tangis anak manusia.
Jiwa! Raga! Dan nyawa.
Hanyut terbawa bencana,
dosa siapa penyebab murka, bumi Nusantara.
Mungkinkah sang bayi yang menangis
mungkinkah para binatang yang keluar dari rerimbun hutan
atau kami para pujangga salah menggurit tinta.
Semua yang terjadi tinggalkan jejak pilu di tanah Negeriku.
Merah padam do'a, berbalur air mata
semoga menjadi catatan sejarah kemiskinan hati juga ego jiwa akan kebenaran surat dari langit
sudah selayaknya jadi renungan.
27 Juni 2016, Gunung Sugih Liwa
GADIS BIOLA
Karya Anik. Susanti
Menangis kini alam naluri
Terkunci oleh tebing jurang ketidaksempurnaan
Di sela bara ketidakberdayaan
Ku simpan cita nan tinggi
Sampai hujan menguyup menyapa bumiku
Tak pernah biar sebentar pun singgah
Biarkan kering kerontang semua harapan
Yang kutanam layu...
Sepuluh jemari, mata untukku membaca
Di sini buku braille jadi guru setia
Dan satu-satunya belahan jiwa
Bukan orang tua atau saudara
Tapi sendu biola yang begitu mesra di telinga
Menjadi duniaku mengikat hati dan jiwa
Ya Rahman, tongkat kecil jadi penjuru
Dan cuma biola kusebut matahari dia
Nada arahnya adalah mata yang tak pernah buta
Kini pun aku mengerti
Atas keterbatasan ini
Jadilah jala meraih mimpi-mimpi
Gunungkidul, 1 Juli 2016
SUARA MALAM
Karya: Anik Susanti
Serangga malam mulai berlagu
Kini malam terdengar suaranya
Hening hati merenung sebentar waktu
Sepi melerai rasa yang ada
Bila merah senja mulai mengikis
Hilanglah sebuah tanya kapan hari ini kan habis
Ketika tak ada lagi yang kukenal
Sendiri begini saja tanpa suasana
Sudah kubiasa
Biar semuanya terlelap
Tanpa kepedulian
Biar hari-hari dalam pijak lalui
Hanya berkawan suara malam
Karena aku tak begitu tahu
Tentang kata dan bahasaku
Yang tak lagi punya makna
Gunungkidul, 1 Juli 2016
TENTANG RASA
Karya Ahmad Rifa’i
Mengenalmu, begitu indah
selaksa embun pagi
sambut mentari
sejukan sanubari.
Kini, rasa ini kian
bersemayam di hati
mematri biasan kasih
penuhi jiwa.
Akankah kian bersemi
bersama datangnya
hembusan badai dan topan
gontaikan raga lusuh nan kian
kusam.
Bahway 1 Juli 2016, Balik Bukit, Lampung Barat
JALINAN SILATURAHMI
Karya Ahmad Rifa’i
Pagi, mendung selimuti langit
pesagi
janji bersua kembali teringat
'ku beranjak dari peraduan.
Memacu roda, menerjang
padat jalanan
tempuh jarak bersama bisingnya
lalu lalang knalpot.
Senyum terpapar
jabat tangan
candapun terlahir di jiwa bahagia.
Merajut tali silaturahmi
jadikan wadah
indahnya keluarga.
Bahway 1 Juli 2016, Bahway-Balik Bukit, Lampung Barat
PENGEMIS KECIL
Karya Titin Ulpianti.
Hingar-bingar laluan sepi
di jalanan berdebu, tak menyurut
langkah di usia muda,
kaki tanpa alas, dengan lusuh berbekal kantung pelastik usang.
Di kegigilan, sendu
menerjang kerumunan orang
demi memungut recehan, sebagai penopang hidup hari-berhari.
Dari tangan mungil, pengemis kecil tengelam dalam kubangan dan ketunaan melupakan bahagia, berdamai kedukaan diri
di antara gemerlapnya malam menyulam cahaya.
Liwa,30 Juli 2016
RINTIK HUJAN DARI PAGI
Karya Nanang R
Meniti hari,
asa mulai menampak
di pagi belum sempurna.
Sandaran yang dingin
sang mentari tak kunjung
nampakan diri
murung di balik rinjani.
Kekicau burung kini
berganti katak bernyanyi
denting hujan tak kunjung henti
ular pun menari
mangsa pun di nanti.
29 Juni 16, Banjarnegara, Jawa tengah
Dari redaksi:
Silahkan kirim karya puisi anda ke alamat e-mail riduanhamsyah@gmail.com atau inbox akun fb Riduan Hamsyah. Sertakan biodata. Nama asli penulis. Dan kosakata serta tanda baca yang baik dan benar, bila tidak mengikuti ketentuan ini maka karya tidak akan kami publikasikan..
Tidak ada komentar