Prosa Riduan Hamsyah "Ziarah Ayah"
Prosa Riduan Hamsyah
ZIARAH AYAH
Lelaki itu. Ia adalah punggung sebuah bukit. Tempat burung burung menyimpan kicaunya. Sebuah getar rimba menghijaukan segala yang terasa di balik lipatan sepi memantul menjadi denyar berkejaran pada pucuk pucuk kabut dan rasa dingin yang menguasai sepanjang malam malam legam. Menyisakan bayangan pohon dan derik jangkrik hingga bintang-bintang yang menari sepanjang denyut bumi. Pengelanaan yang panjang. Menuju tepian pagi ketika burung burung kembali terbangun lalu meramaikan udara dan kupu kupu menguas cakrawala dengan binar selembut sentuhan kekasih yang menyapa dengan selaksa rindu merayap di akar akar semak.
Lelaki itu adalah juga rimba raya. Sebab Ia hanya mengenal sisi kedamaian dalam hidup. Kesejukan sepanjang waktu menahun menarasikan banyak hal ikhwal meski kadang sesekali ada derap beliung angin yang mengguncang penjuru pikiran tetapi kukira Ia tetap adalah senyap sebab terpancar benar dari sepasang bola matanya yang lindap bila hidup baginya adalah kemungkinan yang mesti dipertaruhkan pada sebuah perjuadian kalah menang. Ya, di meja perjudian nasib kadang kala mesti menemui kemungkinan untuk melunasi kebutuhan akan butir embun yang santun menyentuh sebuah titik jatuh dan rasa asin bermukim di tepi tepi lidah.
Ia. Lelaki itu. Adalah ayahku. Sekaligus ayah dari selaksa keraguan yang menyelinap menjadi puting beliung menguliti pohon pohon. Menjalar ke akar-akar semak kemudian merupa rimba raya. Ya, sesungguhnya Ia adalah rimba yang bertahun waktu mengajariku bagaimana menjadi seorang lelaki. Lelaki yang mesti belajar menghantam keraguannya sendiri dengan kata kata. Sebab sekali lagi Ia hanya mengenal sisi kedamaian dalam hidup. Pikirannya ringkas disederhanakan oleh sebuah keyakinan bahwa segala yang guncang itu adalah karena tiang-tiang yang lupa ditancapkan di belantara rencana. Dan, punggung sebuah bukit tempat burung burung menyimpan kicaunya ketika hari melipat siang pada malam legam juga sekawanan jangkrik berderik berdansa ria menarasikan secarik catatan matahari pada kekasih yang menyapa dengan selaksa rindu merayap di akar akar semak. Meski sunyi kadangkala menusuk jadi belati menghujam hingga ke sebuah tempat paling hulu dan Ia tetap kokoh dengan keyakinannya itu bahwa (ketika) siang datang hidup mesti dikembalikan pada cahaya yang rupawan.
Tetapi hari masih malam. Kata orang tua yang bijak, malam adalah sebuah lapak, paling strategis untuk menterjemahkan kedamaian menidurkan pertikaian yang mengalir sepanjang siang menyesaki layar telivisi mengagetkan manusia ini dengan dentuman bom di pusat ibu kota suatu negeri mengguncang sebuah tempat ibadah manusia yang berlainan sekte dan keyakinan untuk menghalalkan prinsip yang mesti dibelanya mati matian. Ah, siang, tempat orang orang kota membakar kedamaian itu dengan konspirasi besar menjadikannya abu. Mala petaka dan dendam. Dan orang orang bertikai itu ketika malam datang tetaplah merasa lelah dan terbaring juga bersama kami untuk mengeloni prinsip yang terlanjur dibikin sedemikian rumit.
Tetapi bagi Ayah ringkas saja. Hidup tidak mesti dibuat serumit itu. Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang sulit diraih. Esok hari. Ketika matahari memantul di bening embun dan pintu rumah terbuka pelan pelan menyaksikan Si Sulung memakai seragam sekolah untuk pertama kalinya adalah sebuah kejadian paling nikmat dalam hidup. Betapa tidak? Enam tahun lebih Ia menunggu peristiwa sangat sacral ini dengan harap harap cemas. Melihat Si sulung tumbuh membesar dan untuk pertama kalinya mengenakan seragam merah putih lengkap dengan topi dan dasi.
“Akhirnya, anak kita sekolah!” Senyumnya lebar.
********
Seorang ayah. Sejatinya telah mengikhlaskan tubuhnya melebur jadi lumpur di musim penghujan jadi tanah jadi debu jadi rasa letih yang menyerang jadi lamunan dan entah jadi apa saja. Ia hanya mengenal sisi kedamaian dalam hidup sebab Ia sangat ringkas dan efektif sangat anti terhadap sebuah pertikaian. Mengapa hidup mesti dibuat sedemikian rumit melalang buana pada rantau yang sebenarnya tak perlu terlalu jauh ketika kelak kita akan kembali jua pada sebuah titik di mana pertama kali manusia ini mengenal tempat bertumpu sepasang kaki. Sungguh, ayah adalah lelaki ringkas dan efektife. Ia tidak paham bagaimana caranya mempengaruhi asumsi public. Seperti sejarah seorang besar yang pandai berdeklamasi hingga mempengaruhi kaum bangsawan yang menyimpan beribu batang emas menumpuknya di sebuah tempat sebelum disembunyikan ke negeri orang. Dan, lagi lagi petaka, sebab logam-logam kuning yang dijarah dari perut bumi melalui tangan raja raja itu beralih tangan dan hingga kini belum kembali. Sementara dosa sejarah terlanjur mengalir sebagai perampokan terbesar dalam sejarah bodoh bangsa ini. Itulah mengapa ayah hanya ingin menjadi orang ringkas. Sebab sesederhana apapun hidup tetap saja akan berbekas.
Ia. Lelaki itu. Ayahku yang punggung sebuah bukit atau juga adalah rimba dan akar-akar semak itu. Tempat burung-burung menyimpan sekaligus mengasah kicaunya itu. Tidak mengerti bahasa konspirasi. Ia hanya ingin anaknya sekolah. Memakai seragam merah putih lengkap dengan topi dan dasi. Itu saja. Ia berulang kali menegaskan keinginannya itu kepada ibu. Kepada siapa saja yang diajaknya bicara.
Dan tentunya Ibu adalah sekuntum pribadi yang paling realistis. Baginya esok dan hari ini adalah sesuatu yang biasa saja. Tidak ada yang terlalu diistimewakan, kecuali aroma bumbu di dapur yang menipis dan kelangsungan hidup adalah sesuatu yang mutlak mesti direncanakan ketimbang menggasing pada sesuatu titik waktunya memang telah tiba. Lebih realistis lagi karena sesungguhnya Ibu adalah suatu sosok yang paling pandai memaklumi setiap dinamika sehingga aura perempuannya mengalir sejuk tidak hanyak ke seluruh penjuru dapur tetapi tiba pada hatiku yang selalu saja hampir menjadi Malin Kundang. Ibu adalah perempuan yang paling memahami gejolak pada diri Ayah sebab sejak kecil sang piatu tersebut tak pernah merasakan bangku sekolah. Ayah terlahir dari sebuah sengketa masa silam yang kacau. Dibesarkan pada sebuah realitas yang perih untuk diurai sejarahnya.
Masa kecilnya hanya dihabiskan untuk berenang di sungai. Memeriksa ikan ikan kecil di balik batu dan berburu kesepian menahun waktu mengejar capung menyampaikan kegamangan pada bibir petang kemudian silih berganti gelap pada malam memangku langit meninabobokan mimpi mimpi kecil yang teramat sangat ringkas ketika hidup selalu disederhanakan oleh keterkungkungan dan aroma rimba menyulap sepasang bola mata menjadi lindap. Menjadi denyar yang tak ramai. Sebab Ia telah menjadi piatu sejak usia belum genap sepuluh tahun. Merasakan dinamika yang tak karuan mesti mengalir pada sebuah titik tak terarah. Sungguh, masa kecilnya, dihabiskan untuk berenang di sungai menangkap udang dan memeriksa kesedihan ikan ikan kecil di celah batu. Mengejar capung. Berlari lari dan memanjat pohon. Bangku sekolah baginya hanyalah mimpi yang tak kunjung selesai tetapi harap harap cemas itu akan segera terbayar ketika esok ketika langit mulai terang ketika daun pintu terbuka dan Si Sulung berangkat sekolah.
Tetapi punggung sebuah bukit itu akar akar semak dan rimba raya tempat burung burung menyimpan dan mengasah kicaunya itu tidak pernah mengajarkan aku bahasa pertikaian dan konspirasi tingkat tinggi yang dimainkan orang orang kota sebab Ia hanya mengenal sisi kedamaian di dalam hidup. Ia hanya ingin menyaksikan anak sulungnya bisa merasakan bangku sekolah sebagai penebusan masa kecilnya yang gagal mewujudkan pimpi ajaib tersebut. Ia sangat ringkas. Sungguh, ayah juga tidak akan paham bila saat ini Si Sulung namanya tercatat dalam data base Badan Kepegawaian Negara serta keluar masuk sejumlah perguruan tinggi, sebab perimba yang dulu mengajari aku berenang di sungai itu telah bersembunyi ke balik tanah tempat di mana kini aku berdiri. Dan, di tahun ini, belum sempat aku ziarahi.
(Tentang Penulis: R Hamsyah, saat ini bekerja di salah satu instansi pemerintah daerah di Banten. Karya-karyanya telah dipublikasikan di sejumlah media cetak, media online dan buku antologi. Saat ini mengasuh sebuah sekolah menulis dunia maya bernama KOMSAS SIMALABA.)
Tidak ada komentar