Refleksi Hari Soempah Pemoeda: Nasionalisme Prosedural Vs Substansial
Refleksi Hari Soempah Pemoeda: Nasionalisme Prosedural Vs Substansial
Oleh: M. Andrean Saefudin (Koordinator Forum Mahasiswa Tribudisyukur)
Membicarakan nasionalisme dalam suasana dalam negeri yang kurang nyaman ini sungguh tak nyaman pula. Rasanya seperti tak patut. Nasionalisme, benarkah telah ‘hidup enggan mati tak mau’, setidaknya sedang meluntur bersama hiruk pikuk nasional bersamaan dengan arus deras globalisasi yang mengaburkan batas-batas satuan kebudayaan dalam sebuah negara-bangsa? Benarkah sentimen nasionalisme tidak lagi relevan dengan konteks modernisasi yang meniscayakan kepentingan individu? Perubahan sosial telah terjadi, dan sebaiknya disikapi secara tepat. Pelestarian nasionalisme, memerlukan formula tepat pula.
Sebagian orang memandang pesimis dan mengkhawatirkan kelanjutan nasionalisme warga negeri ini terutama di kalangan generasi muda.
Memang perlu dibuktikan dengan parameter jelas, akan tetapi jika dianggap sebagai warning system bagi kelanjutan NKRI, ada baiknya kita menengok kembali kabar nasionalisme dan integritas yang kini agaknya telah menjadi topik yang kurang menarik untuk dibicarakan, kalah populer dengan isu-isu politik DKI, pemilukada Lampung Barat, korupsi, kasus kopi bersianida, dan sebagainya.
Topik nasionalisme sama redupnya dengan topik-topik integritas, juga Pancasila. Padahal, isu nasionalisme amat penting bagi kelangsungan hidup negara dan rakyat.
Melestarikan ajaran nasionalisme dari masyarakat multikultur dengan sentimen etnisitas dan ikatan primordial yang masih cukup kuat memang tidak mudah.
Ditambah isu kedaerahan yang makin menguat bersamaan derasnya gerakan desentralisasi berbalut jargon kemandirian daerah, pemilukada, makin mendekatkan pada isu kelokalan dan menjauhkan pada isu yang dipandang sebagai “urusan nasional”.
Nasionalisme, mau tidak mau dipandang sebagai isu berlevel nasional, berurusan dengan keutuhan dan ketahanan negara, dan itu domain Pemerintah Pusat. Orang semakin enggan bicara isu ini ketika mereka pada saat yang sama juga merasakan kekecewaan ketika menyaksikan kasus-kasus hukum yang melibatkan pejabat pemerintah.
Dalam pengertian masyarakat umum, para pelaku korupsi, dipandang sebagai orang yang tidak cinta negara, tidak punya jiwa nasionalisme!
Lha, kalau pejabat saja tidak berjiwa nasionalis, buat apa rakyat biasa harus berjiwa nasionalis? Asumsi di atas memang perlu dibuktikan, namun ada gejala alienasi (keterasingan) terhadap isu nasionalisme terutama di kalangan generasi muda.
Saya tidak yakin jika jiwa nasionalisme telah luntur, hanya terasing dan kurang terstruktur saja, karena perubahan sosial dan budaya yang terbawa arus globalisasi dan modernisasi.
Nasionalisme Prosedural vs Substansial
Mari kita tengok beberapa fenomena yang berada di atmosfer nasionalisme, sebelum kita menjustifikasi sebagai gejala eksistensi atau kelunturan nasionalisme. Baiknya kita kenali symptom (gejala) yang terjadi di masyarakat.
Apakah sebenarnya nasionalisme itu? Apakah seperti selalu menyukai dan menyanyikan lagu-lagu nasional, hafal nama-nama pahlawan, hafal teks proklamasi, selalu menggunakan istilah dan bahasa Indonesia, suka lagu Indonesia, anti lagu asing, dan sebagainyab?
Dalam konteks yang agak “modern”, apakah yang selalu bercita-rasa Indonesia mulai dari penggunaan nama-nama orang yang dirasa mengindonesia, memakai barang buatan Indonesia, makan makanan asli Indonesia, selalu berada di tanah Indonesia, selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya pada setiap acara resmi, gemar membawa-bawa bendera merah putih ke mana-mana termasuk ketika menjadi supporter sepak bola, mengenakan kaos “Garuda di Dadaku” dan selalu berharap tim Indonesia menang serta marah besar ketika timnas kalah, bahkan sangat marah ketika membaca berita wilayah Indonesia masuk peta negara lain kemudian ramai-ramai membuat dukungan di situs jejaring social untuk mencaci-maki negara tetangga?
Semangat pembelaan terhadap Indonesia memang kentara pada aksi tersebut. Lantas coba kita tengok, pada saat yang bersamaan, kita menyaksikan konflik dan kekerasan sosial melanda antar kelompok, golongan dan etnis, di antara orang Indonesia yang tadi dibela-bela tersebut. Jika nasionalisme dimaknai sebagai “solidaritas sebangsa”, maka nasionalisme hanya muncul ketika menghadapi “common enemy” (musuh bersama) seperti dalam kasus klaim produk budaya dan wilayah antara Indonesia-Malaysia, atau “nasionalisme bola”, setia pada tim kesayangan karena ada “musuh bersama” yakni kesebelasan lawan.
Ketika tidak ada “musuh bersama”, nasionalisme tak tampak batang hidungnya, justru yang mengemuka adalah sentiment kelompok. Aksi-aksi yang sepintas tampak seperti aksi nasionalisme, saya namai “nasionalisme procedural”, bersifat mekanis, berbasis satuan kebudayaan (etnis, besar atau kecil), homogenitas, munculnya temporal, cenderung tidak stabil, dasar gerakannya adalah stimulus, menunggu perkara.
Nasionalisme substansial, muncul dari sentiment kebersamaan yang melihat substansi solidaritas yang tidak selalu melihat homogenitas sebagai perekat.
Globalisasi dan Modernisasi
Pandangan klasik antropologi sosial mengaitkan nasionalisme dengan dualitas: nasional-lokal, bangsa-etnis, sehingga memunculkan paham-paham negara-bangsa (nation state) dan etnis dalam bahasan nasionalisme. Konsep bangsa digunakan untuk menggambarkan kategori-kategori besar masyarakat (Lewis, 1985).
Identitas nasional dihadapkan dengan identitas etnik. Mengikuti pandangan ini, nasionalisme diasumsikan berkembang ketika nasional, yang dipandang sebagai satuan kebudayaan yang lebih besar, maka harus diberi porsi lebih ketimbang etnis, satuan kebudayaan yang lebih kecil.
Pandangan ini sulit menggambarkan keadaan di mana homogenitas menjadi langka, Negara modern yang tidak hanya berisi satu kategori etnik, batas-batas satuan kebudayaan (bangsa, nation) menjadi kabur, dinamika dan mobilitas orang sangat cepat bahkan menembus batas “territorial” satuan kebudayaan kecil (etnis) dan besar (nation).
Seringkali orang juga tidak saling mengenal. Masyarakat yang multicultural juga mengaburkan makna identitas yang sering disanjung sebagai perekat nasionalisme. Lantas, akankah nasionalisme menjadi lekang oleh jaman, tergerus arus globalisasi dan modernisasi? Dan pada saat yang sama penyelenggara negara masih belum selesai dengan berkutat dalam kepentingan pribadinya dan menampakkan ketidakpahamannya dalam mengelola negara?
Lantas, bagaimanakah merawat nasionalisme di kalangan generasi muda ketika mereka menyaksikan generasi (yang lebih) tua berperilaku yang dipandang anti-nasionalis? Kelirumologinya Jaya Suprana mungkin cocok menggambarkan situasi ini, ketika nasionalisme dibicarakan di arena yang “keliru”, di saat yang “keliru”. Kelirumologi nasional ini mungkin perlu ruwatan nasional untuk menghindari gejala nekropolitan yang makin mengelirukan pembicaraan tentang nasionalisme.
Bahasan nasionalisme dalam habitat modernitas dan perubahan social dalam pusaran globalisasi menjadi lebih berarti ketimbang konteks identitas social. Dalam batas satuan kebudayaan yang makin maya, maka nasionalisme lebih tepat dipandang sebagai sebuah sentimen atau gerakan. Sejalan dengan Ernest Gellner (1983), bahwa nasionalisme adalah prinsip politik, maka satuan nasion, harus sejalan dengan satuan politik.
Maka, sentiment nasionalis adalah rasa marah yang timbul akibat pelanggaran terhadap prinsip ini. Dan, menurut Gellner, nasionalisme adalah suatu legitimasi politik. Sejalan dengan konteks globalisasi, agaknya gagasan Bennedict Anderson tentang nasionalisme lebih relevan. Anderson mendefinisikan nasion sebagai “an imagined political community”(komunitas politik terbayang).
Imagined( terbayang) di sini lebih berarti “orang-orang yang mendefinisikan dirinya sebagai anggota suatu nasion meskipun mereka tidak pernah bertemu dan mengenal bahkan mendengar warga lain, namun dalam pikiran mereka hidup sebuah citra (image) mengenai kesatuan komuni bersama.
Jika Gellner memusatkan perhatian pada politik, Anderson memperhatikan sentimen nasional. Ketika nasionalisme dipandang sebagai “kesetiaan primordial dan solidaritas berbasis asal-usul” (berakhir pada pengertian ‘negara’), masih harus berhadapan dengan “anomali nasionalisme” yakni ketika berhadapan dengan modernitas yang membuat orang cenderung berperilaku individualis, lebih mementingkan kepentingan diri sendiri sebagai pilihan rasional ketimbang memperhatikan kepentingan negara.
Bermanfaat bagi Kepentingan Negara
Kiranya, menyimak perubahan social dan budaya yang telah terjadi, pemahaman nasionalisme tidak lagi relevan jika hanya dikaitkan dengan mendikotomikan nation dan etnis, di mana kedekatan dengan terminologi nation (lingkup lebih besar) ketimbang etnis (lebih kecil) selalu disebut nasionalisme. Yang disebut lingkup kecil, dalam konteks Negara modern, termasuk pula daerah, lokal.
Maka, mengikuti pandangan ini, mendahulukan kepentingan lokal (yang lebih dekat) adalah tindakan tidak nasionalis. Ini justru tidak masuk akal. Tanpa meributkan batas-batas satuan kebudayaan, nation – etnis, maka yang lebih bermakna bagi pelestarian nasionalisme di kalangan generasi muda adalah “berbuat demi dan bermanfaat bagi kepentingan negara”, di manapun berada, baik di “satuan kebudayaan” yang kecil, besar bahkan di luar wilayah negara sekalipun.
Inilah nasionalisme substansial, lebih relevan, ketika globalisasi meniadakan batas dan modernisasi mempersempit arena Negara. Selebihnya, biarkan Negara yang mendefinisikan posisinya, masih layakkah dibela, masih bisa memberikan rasa bangga, membuat nyaman, menciptakan rasa memiliki seperti sinyalemen Greenfield (Nationalism: Five Roads to Modernity) sehingga masih bisa dirasakan (imagined) keberadaannya!
BAGAIMANAKAH kita harus memaknai sumpah pemuda? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan. Tentu tak mungkin menabuh gendang dan menari di kala rakyat masih dibelenggu oleh ancaman kesulitan hidup yang semakin menyesakkan hari demi hari.
Mungkin sebuah perenungan akan lebih tepat. Perenungan untuk mencari di manakah hilangnya jejak-jejak kebangkitan pemuda akan lebih bermakna justru di tengah semakin sirnanya asa akibat perhelatan tekanan kehidupan karena tersanderanya republik.
ratusan tahun lalu, pemuda-pemuda menemukan momentum kebangkitan di tengah impitan penindasan kolonialisme. Kita pun kini mencoba mengikuti jejak mereka mencari momentum yang sama di tengah pengisapan neoliberalisme. Namun, di manakah kita harus mulai?
Kerja kolektif
Marilah kita mulai, seperti mereka dulu, dengan menumbuhkan kesadaran akan realitas ketertindasan dan ketertinggalan. Inilah saat ketika pilihan-pilihan tersandera akibat hilangnya peran negara sebagai badan publik, yang ironisnya dibentuk secara sadar untuk melindungi kepentingan masyarakat. Ungkapan “tiada pilihan yang tersisa selain memotong subsidi” adalah contoh nyata sirnanya tanggung jawab sosial negara sekaligus pengabaian atas alasan adanya negara.
Kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan bukanlah perkara mudah. Seabad yang lalu, para aktivis pergerakan harus mengunjungi daerah demi daerah untuk menyadarkan rakyat akan ketertindasan mereka. Kesadaran itu terkubur di tengah tuntutan pragmatisme hidup dan janji-janji manis elite kolonial dengan kampanye politik etis. Kini kesadaran pun mungkin terbenam di antara tekanan untuk bertahan hidup dan politik tebar pesona yang meninabobokan rakyat.
Sejarah kita sendiri kerap menunjukkan bahwa di tengah situasi fatamorgana itu, mobilisasi gagasan dan mobilisasi sumber daya manusia menjadi penting. Mobilisasi melalui pengorganisasian politik massa-rakyat yang dapat membuat tiap individu yang sadar menjadi pelaku-pelaku perubahan. Mata mereka yang tertindas harus dibuka, sehingga mereka sadar bahwa perubahan tidak datang dari langit. Perubahan tidak datang dari seorang satria piningit. Perubahan datang dari tiap orang biasa yang sadar bahwa mereka harus berubah, melakukan perubahan, dan menjamin masa depan untuk kehidupan yang lebih baik untuk semua. Perubahan adalah buah kerja keras panjang yang tanpa kenal lelah dan tetap bekerja untuk mengakhiri suatu bangunan struktur yang membuat mereka tertindas/tertinggal.
Tidak hanya sampai di situ. Perubahan adalah juga kerja bersama, seperti seratus tahun lalu, bukan kesadaran dan kerja individu yang melahirkan kebangkitan nasional. Kolektivitas adalah apa yang membedakan pergerakan kemerdekaan sebelum dan sesudah 20 Mei 1908.
Perasaan ketertindasan/ketertinggalan sebagai satu entitas bangsa menjadi faktor pembeda dari upaya-upaya perjuangan para pangeran, raja, dan ulama yang pernah mengangkat senjata melawan kolonialisme. Kesadaran kolektivitas para mahasiswa STOVIA-lah yang 20 tahun kemudian melahirkan tonggak sejarah baru dalam kongres pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Melalui sumpah itulah kebangkitan nasional melahirkan suatu entitas politik-kebangsaan baru, yaitu Indonesia.
Jejak kerja bersama itu yang mungkin harus kita cari saat ini di tengah politik liberalisme (di tengah kurangnya kadar kesadaran menjadi demokrat) yang membuat semangat kekelompokan berdominasi. Memang, hampir mustahil menghapuskan kepentingan pribadi dan kelompok ketika ia memang secara sah diharuskan berkontestasi. Namun, ketika ia menjadi panglima, tujuan bersama pun menjadi sisa-sisa.
Kebangkitan sebagai Spirit
Kebangkitan itu sebagian besarnya adalah soal spirit. Spirit letaknya ada dalam imajinasi pikiran dan kegelisahan yang mengusik hati sanubari massa. Imajinasi yang sedemikian rupa sehingga menginspirasi orang secara massif. Barulah imajinasi massif itu mewujud dalam tindakan sosial.
Harapan pada suatu zaman kebangkitan yang mampu membebaskan bangsa dari kolonialisme adalah spirit yang menyebar hingga ke dalam bentuk gosip-gosip di kalangan masyarakat. Ia menjadi discourse sosial.Discourse yang meluas ke tingkat massa menyebabkan massa gelisah, bak api dalam sekam yang mencari jawaban atas hari ini dan hari depannya.
Discourse yang bergerak di tingkat masyarakat di era kolonial itu suatu kali memiliki momentum meletup tanpa terkendali, dikatalisasi oleh tekanan sosial dan ekonomi yang luar biasa serta berita kebangkitan negara Timur lainnya. Potensi letupan-letupan kecilnya dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, mulai selebaran-selebaran di tingkat massa hingga bentrokan-bentrokan fisik dengan aparat kolonial. Perlawanan diam-diam dan terbuka ke bentuk yang paling konfliktual secara terbuka sesungguhnya hanyalah wajah permukaan. Ada yang jauh mengendap di dalam hati massa itu, yaitu kebangkitan kemerdekaan bangsa.
Pada masa itu, suasana spirit sosial itu sebenarnya hanya menunggu suatu keberanian untuk memimpin proses perubahannya. Hanya tinggal menunggu pemimpin yang punya keberanian memimpin perubahan untuk berangkat melalui imajinasi sosial rakyat. Dari sana lalu memuarakan letusan-letusan sosial itu menjadi sebuah tindakan yang, karena massif diikuti oleh massa rakyat yang gelisah terhadap perubahan menentang kolonialisme, bermetamorfosis menjadi gerakan sosial politik yang dahsyat pada masa-masa berikutnya. Itulah riwayat bagaimana bangsa ini akhirnya meraih kemerdekaan untuk dirinya.
Pertanyaannya, refleksi bagi kita kini adalah mampukah kita menangkap gejala-gejala spirit perubahan di tingkat rakyat itu, kini dan di sini? Kemudian mampukah kita menangkap imajinasi sosial dan mengkristalisasikannya? Kristalisasi adalah bentuk olahan terhadap imajinasi sosial itu. Kemudian menyebarkannya ulang ke dalam suatu cita-cita yang bisa diterima dan dibenarkan oleh rakyat. Jika kita bisa menangkap imajinasi sosial rakyat itu, kini tugas kita menjadi lebih jelas: memimpin cita-cita perubahan rakyat dalam rangka kebangkitan nasional selanjutnya.
Spirit yang Mencari Pemimpin
Proses ini mungkin dapat disebut sebagai suatu discourse sosial. Suatu proses komunikasi teks tuturan rakyat, dengan segala model bentuknya, yang ditangkap oleh aktivis gerakan sosial, diolah, dan dinyatakan kembali kepada massa rakyat. Ini seperti peristiwa rekontekstualisasi yang kompleks. Melibatkan rakyat beserta teks sosialnya, diterima oleh aktivis sosial dan diberikan bentuk konteks baru, kemudian disampaikan dalam bentuk teks progresif yang menginspirasi khalayak rakyat secara massif. Tak bisa dibantah bahwa ini merupakan suatu proses discourse yang kompleks.
Namun, jika kita mampu dengan tepat memposisikan diri di arena komunikasi sosial itu, kita mampu bukan hanya menyelami imajinasi sosial rakyat, melainkan juga maju selangkah lagi dengan memimpin imajinasi rakyat ke dalam bentuk tindakan perubahan yang luar biasa. Syaratnya sederhana saja. Sebagaimana pada awal-awal kebangkitan, hampir semua pemimpin kebangkitan nasional hidup bersama rakyat, sangat dekat dengan kehidupan keseharian rakyat, sehingga bahasa rakyat hampir tak berjarak dengannya. Pesan sosial rakyat bisa diterima dengan sangat baik oleh mereka.
Pertanyaan reflektif kepada kita adalah sedekat mana jarak kedekatan komunikasi sehari-hari kita dengan rakyat. Sedekat apa kita bisa memahami pesan massa rakyat. Jadi, menurut saya, konteks kebangkitan baru ini hanya perlu disederhanakan saja, sebagai sebuah teks baru, sedangkan mekanisme prosesual pemberian maknanya hanya perlu direfleksikan dari pengertian pada proses yang sama pada awal kebangkitan pertama 1908.
Sejarah kembali mengetuk pintu rumah kita, hanya mereka yang berjiwa pemimpin akan punya cukup keberanian untuk membukakan pintunya: bersiap menerima kenyataan sejarah apa pun yang akan datang. Itulah yang dilakukan oleh dr. Soetomo, dr. Wahidin Soedirohoesodo, dan kawan-kawan pada 100 tahun yang lampau.(**)
Tidak ada komentar