Puisi Karya Q Alsungkawa
SEMARAK PUISI MALAM MINGGU (edisi ke-51)
DARI REDAKSI
Kirimkan puisimu minimal 5 judul dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Puisi, biodata, foto bebas dalam satu file. Tidak boleh terpisah. Pada subjek e-mail ditulis SEMARAK PUISI MALAM MINGGU_edisi ke-52 (malam minggu selanjutnya). Naskah yg dimuat akan dishare oleh redaksi ke group fb Silaturahmi Masyarakat Lampung Barat (SIMALABA), SASTRA KORAN MAJALAH. Redaksi juga akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan puisimu tidak dimuat maka puisi dinyatakan ditolak. Salam kru redaksi.
LEMBAR KARYA TUNGGAL
TULISLAH
Bukankah malam! Ia setia menunggu tidurmu. Percintaan antara lelah, sisa catatan matahari.
Sementara kita, menunaikan pikiran, pada bait-bait yang selelalu mempermainkan sudut penasaran.
Tetapi, dalam, engkau membolak-balikkan celah, ragam argumen tersaji di meja puisi. Itu semua hanya menyisakan harap kecemasan, tentang apa nasib yang menimpanya.
Ada pemberontakan, yang mengamuk di sela dadamu.
Selayaknya dibidani.
Dan---
aku, seperempat dari secarik harapan
yang lalu
juga meniupkan sepoi, pada pelepah yang kau hinggapi.
Lampung Barat, 4 Februari 2017
MENGADU KEPADA TULISAN
Tak berlebihan, jika Langitku sebatangkara. Pada umumnya, hanya bersandar pada semusim kopi. Tiada lagi pijakan semasa paceklik.
Padahal, adalah padahal. Kami tak henti bekerja, tanah di sini cukup subur, sekedar jalan berselimut lumpur.
Ya!
Langit kami tetap mendung, serupa raut perawan yang cemas menatap pintu, setiap dikunjungi malam minggu.
Tetap saja, catatan malam, muda
juga seorang ibu, yang terus belajar menyulap sejumlah uang, guna mengiringi asap di dapur.
Dan, kalimat yang dijadikan penyejuk hati (semoga musim esok berbuah lebat dan berjodoh pada harga yang sesuai) lagi-lagi kata itu menyerupai doa.
Tentu dan tentu, sebelum tidur, kami melapalkan sebuah mantera, yang hanya akan memenuhi ranah abu abu. Sebabnya rayuan dari balon-balon meledak
juga bisik-bisik manjanya, hanya menggelitik dan beku dibelai cuaca dingin.
Lampung Barat, 5 Februari 2017
REPUBLIK PUISI
Suara kecil dari pinggir. Mau-tak-mau menyikapi politik.
Hehehe ... geli.
Bahkan bibit seniman--- pun mulai menyemai kekata. Entah melemparkan nasehat, atau sekedar ingin disebut gaya, seolah sastrawan kawakan.
Lalu---
kenapa politik itu mereka bikin rumit?
Baiklah, kita lupakan itu
dan
kita bercerita tentang puisi, yang lebih rumit dari politik
tetapi kita paham
sebab seni, yang menjembatani nurani. Hingga kita damai di dalamnya.
Ya ya ya
kita hanya ingin bersajak. Membangun Republik Puisi
dan menepi dari orang-orang yang melukai perasaan.
Dan kita takkan bicara bahasa serakah.
Selamat datang di Republik Puisi.
Lampung Barat, 6 Februari 2017
BIOGRAFI HIDUP l
Ucapkan selamat tinggal
pada pandangan yang setia di sini.
Laksana dua orang asing, tersekat kasap mata.
Batu Jagur, Lampung Barat, 7 Februari 2017
BIOGRAFI HIDUP ll
Seperti dua orang asing, aku dengan hidupku, dirimu dengan hidupmu.
Ada jarak yang kasap mata. Dan entah, harus memulai dari mana?
Batu Jagur, Lampung Barat, 7 Februari 2017
KUTITIPKAN PUNGGUNG PADA TIANG
Ketika setia dalam penantian, banyak parasangka yang tumbuh di pemikiran. Ada biji-biji was was berselinapan.
Ya---
berserakan pandangan terbuang ke banyak tempat
juga
untaian napas yang ditarik dari kedalaman rongga dada, kemudian terhempaskan pula pada dinding kota, yang setiap detiknya melukai pandangan.
Kebun Tebu, Lampung Barat, 7 Februari 2017
KEPADA MANUSIA
Setiap detiknya, birahi seni, mengamuk di gumpalan dada, memukul runcing tarian pahat, menguliti corak-corak budaya.
Hai--- tuan yang berpangku tangan
juga
nyonya yang mengulum senyum?
Akulah sebagian keping manusia, yang terbentur pada dinding-dinding kerasnya kehidupan, sebuah panti tempat kami menyederhanakan pikiran, dari pedihnya sengatan matahari
juga amukan hujan yang mencatatkan banyak rasa dingin.
Pada tubuh ini
yang dihinggapi segala bentuk kelelahan. Tetapinya masih bersarang selembar jiwa, yang kusebut manusia.
Adakah nurani tuan, menatap warna jalanan
ketika kami menterjemahkan debu-debu dekil, di punggung para pengais hidup, yang terus dihujam persoalan perut.
Ya ... cukuplah kami berdamai dengan angin malam, yang menerobos bilik-bilik kerontang.
Cukuplah kami berdamai dengan matahari, di sebatang pohon.
Dan
Cukuplah kami berdamai dengan hujan, di atap-atap emperan.
Salam untuk tuan dan nyonya
yang sedang berpangku tangan.
Lampung Barat, 9 Februari 2017
Kirimkan puisimu minimal 5 judul dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Puisi, biodata, foto bebas dalam satu file. Tidak boleh terpisah. Pada subjek e-mail ditulis SEMARAK PUISI MALAM MINGGU_edisi ke-52 (malam minggu selanjutnya). Naskah yg dimuat akan dishare oleh redaksi ke group fb Silaturahmi Masyarakat Lampung Barat (SIMALABA), SASTRA KORAN MAJALAH. Redaksi juga akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan puisimu tidak dimuat maka puisi dinyatakan ditolak. Salam kru redaksi.
LEMBAR KARYA TUNGGAL
PUISI PUISI Q ALSUNGKAWA
TULISLAH
Bukankah malam! Ia setia menunggu tidurmu. Percintaan antara lelah, sisa catatan matahari.
Sementara kita, menunaikan pikiran, pada bait-bait yang selelalu mempermainkan sudut penasaran.
Tetapi, dalam, engkau membolak-balikkan celah, ragam argumen tersaji di meja puisi. Itu semua hanya menyisakan harap kecemasan, tentang apa nasib yang menimpanya.
Ada pemberontakan, yang mengamuk di sela dadamu.
Selayaknya dibidani.
Dan---
aku, seperempat dari secarik harapan
yang lalu
juga meniupkan sepoi, pada pelepah yang kau hinggapi.
Lampung Barat, 4 Februari 2017
MENGADU KEPADA TULISAN
Tak berlebihan, jika Langitku sebatangkara. Pada umumnya, hanya bersandar pada semusim kopi. Tiada lagi pijakan semasa paceklik.
Padahal, adalah padahal. Kami tak henti bekerja, tanah di sini cukup subur, sekedar jalan berselimut lumpur.
Ya!
Langit kami tetap mendung, serupa raut perawan yang cemas menatap pintu, setiap dikunjungi malam minggu.
Tetap saja, catatan malam, muda
juga seorang ibu, yang terus belajar menyulap sejumlah uang, guna mengiringi asap di dapur.
Dan, kalimat yang dijadikan penyejuk hati (semoga musim esok berbuah lebat dan berjodoh pada harga yang sesuai) lagi-lagi kata itu menyerupai doa.
Tentu dan tentu, sebelum tidur, kami melapalkan sebuah mantera, yang hanya akan memenuhi ranah abu abu. Sebabnya rayuan dari balon-balon meledak
juga bisik-bisik manjanya, hanya menggelitik dan beku dibelai cuaca dingin.
Lampung Barat, 5 Februari 2017
REPUBLIK PUISI
Suara kecil dari pinggir. Mau-tak-mau menyikapi politik.
Hehehe ... geli.
Bahkan bibit seniman--- pun mulai menyemai kekata. Entah melemparkan nasehat, atau sekedar ingin disebut gaya, seolah sastrawan kawakan.
Lalu---
kenapa politik itu mereka bikin rumit?
Baiklah, kita lupakan itu
dan
kita bercerita tentang puisi, yang lebih rumit dari politik
tetapi kita paham
sebab seni, yang menjembatani nurani. Hingga kita damai di dalamnya.
Ya ya ya
kita hanya ingin bersajak. Membangun Republik Puisi
dan menepi dari orang-orang yang melukai perasaan.
Dan kita takkan bicara bahasa serakah.
Selamat datang di Republik Puisi.
Lampung Barat, 6 Februari 2017
BIOGRAFI HIDUP l
Ucapkan selamat tinggal
pada pandangan yang setia di sini.
Laksana dua orang asing, tersekat kasap mata.
Batu Jagur, Lampung Barat, 7 Februari 2017
BIOGRAFI HIDUP ll
Seperti dua orang asing, aku dengan hidupku, dirimu dengan hidupmu.
Ada jarak yang kasap mata. Dan entah, harus memulai dari mana?
Batu Jagur, Lampung Barat, 7 Februari 2017
KUTITIPKAN PUNGGUNG PADA TIANG
Ketika setia dalam penantian, banyak parasangka yang tumbuh di pemikiran. Ada biji-biji was was berselinapan.
Ya---
berserakan pandangan terbuang ke banyak tempat
juga
untaian napas yang ditarik dari kedalaman rongga dada, kemudian terhempaskan pula pada dinding kota, yang setiap detiknya melukai pandangan.
Kebun Tebu, Lampung Barat, 7 Februari 2017
KEPADA MANUSIA
Setiap detiknya, birahi seni, mengamuk di gumpalan dada, memukul runcing tarian pahat, menguliti corak-corak budaya.
Hai--- tuan yang berpangku tangan
juga
nyonya yang mengulum senyum?
Akulah sebagian keping manusia, yang terbentur pada dinding-dinding kerasnya kehidupan, sebuah panti tempat kami menyederhanakan pikiran, dari pedihnya sengatan matahari
juga amukan hujan yang mencatatkan banyak rasa dingin.
Pada tubuh ini
yang dihinggapi segala bentuk kelelahan. Tetapinya masih bersarang selembar jiwa, yang kusebut manusia.
Adakah nurani tuan, menatap warna jalanan
ketika kami menterjemahkan debu-debu dekil, di punggung para pengais hidup, yang terus dihujam persoalan perut.
Ya ... cukuplah kami berdamai dengan angin malam, yang menerobos bilik-bilik kerontang.
Cukuplah kami berdamai dengan matahari, di sebatang pohon.
Dan
Cukuplah kami berdamai dengan hujan, di atap-atap emperan.
Salam untuk tuan dan nyonya
yang sedang berpangku tangan.
Lampung Barat, 9 Februari 2017
Tentang Penulis:
Q Alsungkawa, bergiat di komunitas sastra di Lampung Barat (KOMSAS SIMALABA), ia mempulikasikan puisi-puisinya di media online www.wartalambar.com, Saibumi.com dan Lampungmediaonline.com
Tidak ada komentar