Semarak Puisi Malam Minggu (Edisi ke-52) Bagian 2
SEMARAK PUISI MALAM MINGGU (edisi ke-52)
DARI REDAKSI
Kirimkan puisimu minimal 5 judul dilengkapi dengan biodata diri dan foto
bebas ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Puisi, biodata, foto bebas
dalam satu file. Tidak boleh terpisah. Pada subjek e-mail ditulis
SEMARAK PUISI MALAM MINGGU_edisi ke-53 (malam minggu selanjutnya).
Naskah yg dimuat akan dishare oleh redaksi ke group fb Silaturahmi
Masyarakat Lampung Barat (SIMALABA), SASTRA KORAN MAJALAH. Redaksi juga
akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1
bulan puisimu tidak dimuat maka puisi dinyatakan ditolak. Salam kru
redaksi.
LEMBAR KARYA BERSAMA
PUISI PUISI ANDI IDENG
TIRAI USANG
Menyatu sepi dalam kebisuan malam, teruntai goresan di atas altar rapuh.
Ada kejenuhan menyusuri kalam ruang hati, ketika kuberpacu pada harap yang tak kunjung nyata.
Sayup semilir kembali berhembus di balik tirai usang, sentakkan rindu akan ia yang kini kian jauh dariku.
Namun di tengah belantara sunyi merajam sukma, masih setiaku bernyanyi untukmu, tentang rindu.
Soppeng Makassar, 14 Februari 2017.
AKU SALAH MENYAYANGIMU
Siang ini kembali terlontar pedasnya kalimat dari bibirmu.
Tidakkah engkau memyadari?
Aku terluka karena itu.
Tapi baiklah!
Kalau memang itu sudah kemauanmu, maka bergegaslah pergi dari kehidupanku, akupun tidak akan mengusikmu.
Cukup aku tau sikap dan sifatmu, ternyata aku telah salah mengenal dan menyayangimu.
Soppeng Makassar, 14 Februari 2017.
BUKAN TULANG RUSUKKU
Senandung senja tidak lagi mampu sejukkan hati.
Bayangan dirimupun kerap menghantui, dalam hasratku menyusuri kalam hati yang gersang, tanpa siraman kasihmu.
Di atas bale papan tidak beralas, masih terus kunikmati indah wajahmu dalam album kenangan.
Walau kusadar, dirimu kini telah jadi milik orang lain dan terlahir bukan dari tulang rusukku.
Soppeng Makassar, 15 Februari 2017.
ANGKUHNYA KOTA
Jauh sudah langkah kaki ini mencari, di sela suara bising kendaraan berlalu lalang.
Blue jeans, kaos oblong nampak kusut di badan, dari seharian terbasuh debu jalanan.
Demi impian yang mulai membasi, terus kupacu hasrat temukan taman bintang bertaburan.
Walau kadang wajah sangar preman kerap menghardik, seakan ingin melumat nyali dan telanjangi, di tengah angkuhnya jantung kota.
Soppeng Makassar, 16 Februari 2017.
AKSARA RINDU
Hampa terasa saat ini, ketika sinarmu tidak lagi pancarkan cahaya di relung jiwaku.
Di sela larutnya malam, aksara rindu kembali teruntai manis untukmu.
Dan semuanya bercerita tentangmu, yang dulu pernah hadir mengisi hari-hariku
Soppeng Makassar, 17 Februari 2017
Tentang penulis: Andi Ideng tinggal di Jl Watanlipu, di samping SDN 35 Tajuncu, no 59 Kabupaten: Soppeng, kota Makassar
PUISI PUISI NENI YULIANTI
BIOGRAFI HIDUP
Adalah Ia!
Yang menyembunyikan tangis di balik senyum
menahan gejolak kerasnya dunia
dalam balutan syar'i
gemulai menyusun angka, demi reputasi
walau mimpi teramputasi.
Dengan langkah tertatih, mengemas rinai hujan
tegakkan sendi yang rapuh, bersama butir doa di sepertiga
menahan dinginnya malam yang menusuk pori, berbisik lirih penuh iba.
Adalah Ia!
berjuang melawan kerasnya dunia
agar dapat menghirup udara.
Cirebon, 11 Februari 2017
ZAMAN SUDAH TUA
Nak ... zaman ini sudah merenta, seiring iman yang memudar
akhlak tergerus peradaban, kebarat-baratan.
Rintih bumi, menangis, meronta lelah menadah biji-biji dosa, yang setiap detiknya disemai.
Ketika ketidakadilan, menabuh riuh
hitam-putih tak lagi bernyawa.
Zaman sudah renta, manusia bangga. Akhirat, diacuhkan, harta, mengusung dada.
Menindas kaum papa, katanya juara, berjejer titel di dada, tetapi lupa bahwa Ia imam.
Ayat-ayat suci pun, telah diasingkan. Kemana akan berlindung kemana?
Apakah kita masih manusia?
Cirebon, 31 Januari 201.
DILEMA
Hai tuan, pengantar biji aksara bermajas, pada sudut hati yang beku
mencari kunci, pembuka tabir yang tertutup
di celah-celah kerasnya batu kehidupan.
Dan--
pemilik rasa berkarat yang terikat sekam
tumpahkan air mata, menjerit pilu, terjerembab dalam kotak kenangan.
Cirebon, 11 Januari 2017.
KATALOG MIMPI
Menulis asa pada lembaran langit, penuh gelora, tertancap di biji-biji pikiran alam bawah sadar, teliti dan khusuk, instuisi terasah imajinasi.
Janganlah lemah wahai jiwa!
Walau tumpah warna darah, hingga merobek nadi
balut dengan cahaya iman, terangi jiwa yang terikat sekam.
Maka--
di katalog mimpi, tulis kembali segala misi, pahat ukiran yang indah, dan katakan pada dunia, kau mampu berdiri, walau mimpi teramputasi.
Cirebon, 31 Januari 2017
PASIR CINTA
Melipat tangan. dari tarian sunyi
di balik barak, terselip asa menyeruak ke langit
mengunyah api nelangsa.
Dan---
ketika cahaya mendarat di pijakkan, pada tanah basah, hijrah ke bukit, yang sekelilingnya pohon-pohon rindu.
Maka---
genggamlah pasir cinta, dengan kelembutan; janganlah tuan genggam dengan keras! Sebab, tak mengikat nadi.
Biarkan Ia berbisik lirih, menguas pelangi dalam desah napas, yang tertancap butiran doa. Tentunya Ia yang mengusik hati.
Cirebon, 29 Januari 2017.
Tentang Penulis : Neni Yulianti, bertempat tinggal di kota Cirebon, kegiatan bekerja di perusahaan swasta, hobi menulis puisi. Rutin karya karyanya dipublikasikan di media online www.wartalambar.com
PUISI PUISI ROMY SASTRA
TOPENG-TOPENG DEWA
intrik birahi kapitalis
mencengkram dunia
politikus dungu bermain catur
kalah strategi marah
pengamat ilmuan
seremonial teori saja
sang penguasa dan pengusaha duduk manis
jadi penonton sayembara
rakyat gelisah sudah
selir-selir tahta
seakan bertopeng dewa
semua berkoar benar
padahal hipokrit memalukan
yang penting kenyang tuan senang
para pecundang
ingin jadi pahlawan kesiangan
padahal ia intrik-intrik politik
gerilya berbahaya
untuk sebuah bangsa
barak-barak partai
menyusun konspirasi tingkat tinggi
bak si kecil belajar main petak umpet
gita cinta tanah air itu
hanya seni suara saja
seperti pertunjukan opera
pepesan kosong belaka
bung,
Di mana realiti janji itu
katanya,
amanah itu di pundak dewa mensejahterahkan rakyat
ternyata, hahahaha
anak negeri ini lapar bung
hasil tani dan kebun tiada harga lagi
negeri ini kaya
tapi kenapa kolonialis yang berjaya
putra putri bangsa ini pintar
tapi kenapa bisa dibodohin
uhhh,
emang dasarnya bodoh
coba pelajari sejarah
sang tokoh silam berjuang untuk bangsa
tak mencari keuntungan
malah berkorban jiwa raga
kini,
tuan-tuan telah berjaya
berjuang untuk rumah tanggamu saja
itupun jalan yang salah
kau korupsi di mana-mana
sang tokoh pahlawan itu kini
berduka di haribaan-Nya
di nisan tua
HR RoS
Jakarta, 14/2/17
ORASI DEMOKRASI
Toa meraung-raung tak jelas
Habib berbicara,
orasi pedas
Perwakilan suara umat yang gelisah
Siang tadi di depan istana ada tamu
Raja tak berpesta,
tamu tak diundang datang
Panggung-panggung politik meriah
Padahal undangan disebarkan
Lewat hukum tak adil
Katanya akidah dinistakan
Umat tak terima,
Lebih baik mati berkalang tanah
Daripada akidah tergadai
Untuk apa hidup,
Kenyang hanya memakan bangkai
Harga diri tidak bisa dibeli
Lebih baik berdamai,
Jangan bermain api, negeri kan terbakar
HR RoS
Jakarta, 11/02/17
TEROPONG BATIN BERDARAH
Wahyu tertutup sudah di garis batas ambiya
tak ada lagi warta hakiki selain sabda
petuah wali keramat nan bertuah
bisu di pusara mimpi
adakala wangsit dipercaya.
Jibril tak turun lagi ke muka bumi
membawa pesan ILLAHI
setia saja pada titah awal berlaku
sunatullah.
Khidir masih bertapa bisu
di garis pantai tak bertepi
memandang sagara lepas tak berujung
pusara segitiga bermuda dahaga sudah
memuntahkan lahar api ke seantero dunia
teropong batin berdarah.
Semalam,
seribu satu lafaz kukirimkan ke langit
langit mendung,
gumpalan awan hitam menyelimuti malam
rinainya berdarah di bumi nusantara
adakah gejolak di depan mata
bom waktu meledak tiba-tiba?
"Ah... resah,
biarlah takdir mengiringi pelangi
semoga tumbuh benih-benih pemimpin
yang memayungi buana
cakrawala pagi menyinari dunia kembali
di negeri pertiwi tanah emas.
Pertapaan rasa puisiku berharap
koloni awan hitam rinaikan darah
tak menatap lagi
bersinarlah wahai dunia
HR RoS
Jakarta,17/01/17
PUISI PUISI KHALIS
HUJAN
Hujan tadi siang bagai melantun tembang
Nyanyian bimbang
Serupa gelisah mendamba tenang
Borneo 13-2-2017
'
JUDUL: KUPUKUPU
Aku melihat kupukupu bersayap biru
Melintasi taman bunga beragam warna
Asyik melayang, menari ceria
Tiada terlihat duka pun sengketa
Satu bahasa hidup yang harmoni
Tak terlintas padanya kebimbangan hati
Begitu indah karunia Ilahi
Borneo 13-2-2017
PUISI PUISI ENDANG A
DILEMA HARAP
Adalah malam, pemikul beban, bertajuk parang, merinding seram, dalam kubangan.
Dan-
ketidak-sempurnaan hidup, pemanis kata, menghujat hijab, penuhi segala amarah, dengan keliaran diksi.
Juga nyawa, di permainkan secangkir kopi, segelas teh bertubrukan dengan paham yang anarkis.
Entahlah permainan masih berjalan, kabut makin gelap, suara sumbang masih terdengar, kicau alam berdesah lirih, menuntun kunang-kunang berbagi cerita.
Sedang aku masih mabuk dalam dilema.
Jangan usik aku lagi say!.
Jakarta, 13 Februari 2017.
SIMPUHKU
Pada malam ku rapalkan segala dedoa, melunasi sebuah janji Februari yang belum tuntas.
Sedang deretan ombak menghampiri, menjabarkan olahan rasa sisa-sisa kemarin.
Lihatlah!
permainan drama tuan, sungguh manis, hingga lapisan kerak bumi terpesona, namun betapa menyedihkan di balik segala sandiwara.
Kubangan kemarin masih melekat, benih-benih sesak, menangis di sudut bisu kota tua, mengingat buldoser hampir menggilas tubuh-tubuh kami.
Benarkah pundi cinta anda sama?
Jawablah tuan, karena kita berada dalam sebuah rumah yang sama, Indonesia tercinta.
Jkt, 16 Februari 2017.
UNTUKMU SENJA
Lihatlah,penguasa!
untukmu kubingkiskan selembar surat, tanda kasih kami, penghuni panti.
Salam pemberontakan.
Luka kemarin, menyisahkan rasa sakit, punggung-punggung kecil tergores oleh amukan aparat, lantas apa guna seragam?
Satu, dua, tiga, empat, rekaman suara semakin mengecilkan asa, merobek pertahanan diri, menguliti rasa takut akan kematian.
Dan-
harapan, sorak-sorak kami, bergelut dengan sebuah harta, persembahan untuk tuan.
Kemudian-
ku titipkan sebuah kursi goyang, tanda-tanda kepunahan jabatan anda.
Ini wujud pembalasan atas nama darah-darah kemarin.
Hati-hati dengan takhta, mungkin akan celaka bulan ini.
Salam dari penghuni sudut bisu, selamat malam!.
Jakarta, 16 Februari 2017.
BAYANGAN
Selaksa pandang, hadirmu menyapa manis.
Saat purnama, membawa petikan nada nada bising.
Satukan rasa, di antara bait bait kesombongan.
Dan-
pucuk kamboja sebagai isyarat cinta, dengan nuansa berbeda.
Ruang lingkup tak terjamah logika, bermain bersama ilusi senja, antara ada dan tiada, bergerak bersama kepunahan.
Ok baiklah, berpikir sejenak, langkah kaki belum pulih, sedang napas di ujung janji.
Entahlah bayang, aku belum siap untuk merebahkan pikir.
Jadi, hanya bisa berucap, berirama tanpa jeda, tanpa menelaah sebuah halusinasi menjadi kepingan asa.
Jakarta, 16 Februari 2017.
BISIKAN NURANI
Digit kalender bermain rasa, antara kepingan sebuah noda, sudahkan menelusuri, bisikan nurani, lembaran kado dari kami.
Lihatlah!
luka-luka yang telah tuan gores, pada helaian tubuh kami, berdarah-darah.
Kemudian-
kalian sodorkan segumpal harta, ucapan damai, atas duka, retasan sebuah mimpi akan tanah milik kami.
Mudah sekali, sedang Februari masih basah, hantaran anda melipat penyelesaian, salam dua jari, " Kata penguasa".
Namun-
Kemanakah sebuah hati tertanam, jika tarian berubah, si awam makin bodoh, tertegun oleh setumpuk uang pemanis.
Tetapinya-
maaf, si cacat berdiri, bukan untuk terombang ambing, tapi meluruskan bahasa, pahamilah dan resapi dengan cinta pada tanah air.
Jakarta, 17 Februari 2017.
LENTERA
Jika lentera padam, simpul taakan terbuka.
Lantas-
sebuah takhta tak akan bermukim, pijakan makin menakutkan, hawa kematian di ujung rindu, menguranggi langkah tapak kaki.
Dan-
serupa patung, diam hanya menanti hujan.
Jakarta, 17 Feb 2017.
SERAUT WAJAH
Wanita itu ... berjalan gontai, susuri jalan terjal dengan kekuatan iman.
Dan-
raut wajah lusuhnya, menikmati beban sajian alam.
Kemudian-
dia menghitung biji kalender, berpuasa menahan segala nafsu, bertawakal, bersujud hanya kepada Rabnya.
Jakarta, 17 Februari 2017.
RINDUKU TERSAPU OMBAK
Miris tuan!
kau yang kuagungkan diam seribu bahasa, sedang aku sibuk, menghitung biji biji rindu, buah dari kesunyian.
Dan-
ombak yang kau ceritakan pada malam, menampar pada butaku, atas nama cinta,
bualan yang tersaji dalam segelas teh.
Aku laksana dungu, di sudut bibir kota, mengharap sebuah kisah, mangukir nama di antara napas napas kesulitan.
Oh baiklah lautan, hempaskan jalan cerita, punahkanlah tunas tunas, benih benih api rindu, di hulu dada.
Bisikanlah malam, aku melepaskan segala rasa, perlahan, walau teramat sulit.
Jakarta, 14 Februari 2017.
SEBUAH TAMAN
Di sana, taman kota minimalis itu kita bertemu, dalam perbedaan sebuah rasa dan suku, namun satu persamaan, aksara.
Namun-
Jalinan hanya menyapa tak bermuara, perahu tak pernah sampai.
Kemudian kita bersama belajar, kau membinaku, pada bukit yang bernama puisi.
Semakin aku mengagungkan nama sastra, menyatu dalam kepulan suatu nada, indahnya pojokan maya mengiringgi senyum.
Selamat datang manis, senyum tipismu kurindukan dalam dedoaku.
Jakarta, 17 Februari 2017.
SELAMAT PAGI PODIUM
Selamat datang podium, hadirku bersama lembaran hitam dan misteri sebuah senyum.
Okelah sekarang mari kita mulai, sebelum biji- biji kelender Februari habis masanya, oleh lapisan ozon yang mulai berteriak, juga langit panti yang serupa oksigen melemah.
Wah, senyum tuan terlihat pahit, lupakan sarapan pagi, atau seruputan kopi?.
Oh salah anda tidak suka kepahitan, mungkin lupa segelas susu, mengisi perut buncit itu.
Kebenaran terkuak, bidikan hamba tepat pada target, desahan napas sudah kembang kempis ada apa Bapak?
Okelah, kertas sebagai balasan atas nyawa, cukup aku puas, pelajaran jelata sudah membuat jera, semoga hari berikutnya lebih mawas diri, selalu mengingat Asma Allah, sukses berbahagia.
Selamat pagi mentari, merdeka untuk sudut bisu.
Jakarta, 17 Februari 2017.
Tentang penulis: Endang. A tinggal di jl dukuh 5 penyaringan MEH
jagorawi bekerja di UPK BADAN AIR DAN TAMAN KOTA. Ia Mempublikasikan
puisi-puisinya di media online www.wartalambar.com
Tidak ada komentar