Cerpen Muhammad Rifki "TAS AMAT"
DARI REDAKSI
Kirimkan Cerpenmu dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan Cerpenmu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenap redaksi.
Cerpen Muhammad Rifki
TAS AMAT
Hujan masih menyisa rintik di luar sana, meski kini pendar cahaya di ufuk langit memudar, redup berganti gelap kemudian. Remang, di beranda rumah ibu mematung berdiri di dekat pintu, menutupi celah-celah kecil cahaya yang masuk. Listrik padam, rumah serupa malam yang jelang fajar. Ah, masih basah.Hampir semua buku pelajaranku pun menyisakan basah akibat diterpa deru hujan. Dengan rapi buku-buku itu kuletakkan berjajar di bawah jendela, berharap angin masuk dan bisa kembali menebalkan huruf-huruf yang mulai memudar.
Tadi, sebelum buku-buku ini tertata, ibu sempat menengok, tak ada sepatah kata pun menanggapi. Hanya matanya yang berair, pandangan yang serupa dulu, saat nenek sakit berat dan harus dibawa ke rumah sakit. Aku juga tak tahu ternyata ibu juga memendam rasa sakit di hatinya. Hari itu, ibu tak punya uang. Ayah pun sudah berhari-hari meminta ke Koh Ocan - bos ayah -untuk memberikan gaji lebih cepat untuk biaya pengobatan nenek. Percuma, ia kembali ke rumah dengan hampa, tanpa sepeser pun uang. Maka, setelah hari itu, nenek menghembuskan nafas terakhirnya. Tapi, kejadian itu sudah lama. Lalu, alasan apa ibu berdiri mematung di sana sekarang? Kuperhatikan ia mengusap matanya berkali-kali. Sebenarnya, aku ingin bertanya, mencoba sedikit menghibur kesedihannya, walau kesedihan itu tak pernah lepas dari kehidupan kami yang miskin ini.
Di luar sana hujan semakin deras. Air got meluap. Dari balik kaca jendela kulihat tumpahan air seperti menganak sungai. Hari sudah senja beradu bersama derai hujan, dan ayah masih belum pulang. Mungkinkah ibu mencemaskannya? Bagaimana mungkin tidak, hanya ayah penopang keluarga ini, urat punggung kehidupan kami. Dulu, pernah ayah sakit seminggu dan kami harus menahan lapar selama dua hari karena persediaan beras telah habis. Hari itu pertama dimulainya ulangan semester genap, sebenarnya aku ingin merahasiakannya dan memilih bolos sekolah untuk membantunya berjualan di pasar. Sayang, seminggu lalu aku telah terlanjur mengatakan bahwa minggu depan diadakan ulangan genap. Lalu, bagaimana bisa aku berbohong, mengatakan bahwa hari ini libur. Aku selalu ingat nasehatnya dulu. Saat itu, ayah masih pengangguran. Hari-hari ia pergi keliling desa mencari pekerjaan dan selalu pulang tanpa uang. Untunglah, kami masih bisa makan dengan menjual daun-daun pisang yang ayah petik di hutan.Namun, entahlah, hari itu, tak satu pun laku, tak ada uang. Ibu tampak terlihat sedih, apalagi sehari sebelumnya salah seorang guruku di sekolah datang ke rumah. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, atau apa mungkin tentang itu? Yang kutahu, kepala sekolah meminta pembayaran spp-ku yang sudah nunggak tiga bulan. Orangtuaku harus menghadap, katanya. Tapi sampai hari itu semua kurahasiakan. Mereka tidak pernah tahu, hingga datanglah guru itu menemui mereka. Maka, menjelang malam, dengan semua pertimbangan yang mantap, aku ingin menyatakan berhenti sekolah. Tapi mungkin aku salah, malah membuat ibu menangis. Begitupun ayah, ia marah.
“Cara apapun akan ayah lakukan agar kamu masih bersekolah. Cukup ayah dan ibu menderita seperti ini, setidaknya kau bisa lebih baik, nak.”
Tentu, orang tua mana yang ingin anaknya menderita sepertinya. Mungkin seperti itu pula orang tuaku. Dan sekarang, tak mungkin aku tega bolos sekolah. Tapi, melihat kondisi orang tuaku begitu, membuat dadaku terasa berat untuk menambah panjang ekor penderitaan. Bekerja, ya, hanya itu yang kerap membayangi pikiranku.
“Pergilah,” kata ibu, seolah tau kalau aku sedang bingung.
“Amat, kau tak mungkin bolos, kan? Dan mengecewakan kedua orang tuamu,” sambung ayah.
Terpaksa, aku meningalkan mereka. Hingga seusai ulangan, secepatnya aku pulang ke rumah, membawa ranting-ranting kayu untuk dijual.Entahlah, pikiranku tak tenang.Tadi pun, sewaktu ulangan, bayangan ibu dan ayah kerap menghantui benakku. Tak bisa berkontrasi, padahal ini ulangan penting, penentu siap tidaknya untuk naik ke kelas 6 SD. Hingga pada hari yang ke empat, sempurna, tak ada satu pun yang bisa kami makan. Parahnya lagi, sakit ayah tak kunjung sembuh. Untunglah, ada seorang tetangga yang prihatin dan mau membawa ayah ke puskesmas. Di sana, aku dan ibu menunggu ayah.Namun, aku terkejut bukan main, mendadak ibu pingsan di sampingku.Suara teriakanku memecah dan orang-orang pun segera menolong dan akhirnya ibu pun turut diperiksa perawat.
“Ibumu rupanya sakit magg,” ucap seorang perawat memberitahu.
Aku hanya mengangguk, tak tahu apa yang harus kulakukan. Yang kutahu, kedua orangtuaku sakit saat itu.
“Kenapa bisa begitu?” tetangga yang mengantarkan ayah tadi ikut menyela pembicaraan.Terpaksa, akhirnya semua kuceritakan. Maka, sekian detik kemudian, aku langsung dibawa ke sebuah rumah makan, ah, baru kali ini aku pernah ke sana. Kenyanglah malam itu.
***
Beberapa hari lalu, aku bercerita pada ayah dan ibu tentang hari libur yang akan datang, tentang di sekolah, juga tentang tas. Ya, akhir-akhir ini aku sering menyindir ayah tentang tas. Buku-buku yang sering basah setelah pulang dari sekolah. Pastinya ia juga tau, sekarang musim hujan. Bisa kapan saja air tiba-tiba jatuh berlarian dari langit, tentu ia juga paham. Andai saja ada tas, mungkin buku-buku ini tidak akan basah, paling tidak bisa sedikit mengatasi. Apa mungkin karena itu, karena aku sering menyindir masalah tas?Aku memang egoes, tidak memikirkan dengan kondisi keluarga sendiri, tidak pula ayah yang selalu pulang letih seusai berkerja, kumuh. Namun, ia selalu tampak bahagia, tak pernah terlihat bersedih dan terus menjanjikanku tentang tas itu. Walau itu untuk suatu hari nanti, pikirku.
Masih banyak kekurangan, walau bagimanapun tak mungkin tas itu bisa ia belikan secepatnya. Terlebih, mengingat Koh Ocan yang amat kikir.Sudah dua minggu ayah terlambat menerima gajih. Salah ini, itu, alasan yang selalu di lontarkannya pada ayah. Sebenarnya, ibu juga sering menyuruh ayah berhenti bekerja dengannya. Namun, sebelum itu, perlu dipikirkan kembali. Berhenti bekerja sama halnya siap untuk mati. Di kampungku, tak ada lahan pekerjaan selain memanen karet, sisanya hanya hamparan batu cadas. Tak mungkin kami akan pindah rumah, mencari penghidupan yang lebih layak di kota-kota, seperti para pemuda yang lebih rela pergi ke kota mencari pekerjaan, meski tak jelas arahnya ketimbang hidup di kampung. Terlambat menerima gajih, artinya tak ada uang, tak ada uang, tak ada pula tas. Untungnya ayah masih bisa menemukan pekerjaan selingan sebagai kuli, meski upahnya tak sebanding.
Selepas subuh, saat pagi-pagi buta, ayah sudah meninggalkanku dan ibu di rumah. Entah kemana. Itu selalu ia lakukan setiap hari, dan datang jelang senja. Namun, hari ini, hujan seolah enggan tuk berhenti, sejak pagi, siang dan sekarang petang, masih belum memberi celah. Kulihat, kini ibu duduk di beranda, menatap sekeliling Tak ada rona-rona ceria di wajahnya, hanya airmata. Seminggu yang lalu, ia juga menangis seperti itu, menyendiri di pojok rumah. Tak tahan melihat itu, melihat kesedihan yang seolah semakin melilitnya, aku pun perlahan mendekat dan bertanya. Namun ibu selalu pandai mengelak, kelilipan lah, sakit mata lah, toh, ia selalu berkilah, tak pernah mau berbagi cerita.
Kesedihan, ya, sudah kubilang, keluargaku tak pernah luput dari kesdihan bahkan bagaikan saudara. Ada saja masalah; beras habis, spp belum bayar, listrik, kost dan yang lain, yang tak bisa kusebutkan semua. Dan kini, ah, aku baru ingat, ibu punya penyakit magg. Apa mungkin kambuh? Tapi, tak perlu sesedih itu, bukan? Soal penyakit, di keluargaku sudah biasa. Bahkan sudah mendarah daging. Ayah pun sudah beberapa kali keluar masuk puskesmas berobat. Sampai perawatnya menganjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. Tentu ia menolak, kau pasti tau alasannya, benar, uang “Klo sakitnya terus dibiarkan, takutnya makin parah dan menyeret pada kematian, toh, siapa yang susah.” Entah dari mana aku bisa berucap seperti itu, mungkin dari koran-koran yang sering kubaca. Lantas, lelaki tua itu hanya tersenyum menaggapi, ibu yang sedari tadi tak tahu menahu, tiba-tiba memelukku.
“Sabar ya, nak..” kata ibu membisik.
Aku tak tahu, sampai kapan bisa bersabar, dan kini bayangan tas sempurna memenuhi kepalaku.
Oh tuhan, semoga aku tetap sabar.
***
Tas, ta..s, taass, kata-kata itu memenuhi benakku hampir setengah hari ini. Pagi tadi, sebelum rinai hujan menghambur. Seperti biasa, plastik hitam, pembungkus beberapa buku pelajaran, kerap menemaniku ke sekolah. Bagi kawan-kawan yang lain di sana, mereka sudah biasa melihatku seperti ini. Meski pada awalnya, cemoohan, tawa-tawa hina, acapkali meludahiku, lambat laun akhirnya aku mulai terbiasa dengan semua itu meski bekas-bekas hinaan mereka masih saja bernanah di hati. Ya, sudah jadi pemandangan wajar bagi mereka. Itu dulu, mata-mata yang memandang hina, tapi tidak hari ini, mata-mata itu seolah menetaskan rasa iba. Ya, saat hujan tumpah begitu derasnya, menggarang beserta angin meliuk-liuk buas, hanya aku yang masih berada di sekolah sendirian, semua telah pulang; ada yang dijemput atau nekad berlari menerobos hujan sedang seragam sekolahnya, diletakkan di dalam tas. Untungnya, tas itu cukup kuat menahan derai hujan. Dan kini, hanya aku sendirian. Tak mungkin plastik ini bisa menyanggah hantaman air. Sia-sia, ini hanya berguna meringankanku membawa buku. Bukan melindunginya dari terpaan hujan.
Andai saja ayah kaya, andai saja keluargaku hidup makmur, tidak mungkin, andai saja..andai saja ada tas, ah, pikiranku rancu. Tas, bayang-bayang itu selalu berayun-ayun di benak. Tak lama lagi malam turun, tetapi hujan masih menari-nari buas. Mungkin tak ada salahnya berlari menebas hujan. Tak apa dingin. Tak apa basah. Aku ingin menemui ayah di rumah, seperti yang ia janjikan pagi tadi, ayah akan membelikanku tas. Semoga.
***
Hanya beberapa lembaran buku lagi yang belum kering. Hujan mereda, menyisa sedikit rintik di luar sana. Masih gelap, senja pelan merangkak malam, guntur ikut membising, suasana menjadi tegang. Namun ibu, ia masih di sana, kuintip dari celah kecil jendela, airmatanya membentuk bingkai, mengisak tangis. Aku hanya tertegun diam, melihatnya seperti itu dadaku ikut merasa tertumbuk dan sesak. Mendekat. Ikut berdiri di sebelahnya. Menarikn bajunya dan bertanya, mengapa? Ia hanya menggeleng.
Pemandangan ini cukup sudah melebur keinginanku untuk memiliki tas. Apa yang sedang ibu pikirkan? mengapa ayah belum pulang?
Belum sempat tanda tanya di hatiku terjawab, seseorang datang.
“Bapaknya Amat meninggal, bu,” katanya sambil mengatur nafas, “ia mati dipukuli warga kampung karena dituduh mencuri tas,” sambungnya.
Mendadak, “IBUUUUU!!!”
Al Falah, 21 Januari 2017
Tentang Penulis: Muhammad Rifki, lahir di Anjir Pasar, 13 Agustus 1998, adalah salah seorang santri di Pondok Pesantren Al Falah Putera, Banjarbaru. Bergiat dalam organisasi kepenulisan Forum Pena Pesantren/FPP dan Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Kini ia tinggal di Pondok Pesantren Al Falah Putera Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Untuk mengenalnya lebih bisa melalui akun Fb-nya; Rifki M atatu email: rifkimaibelopah@gmail.com
Tidak ada komentar