Puisi Karya Nuriman N Bayan
SEMARAK PUISI MALAM MINGGU (edisi ke-56)
DARI REDAKSI
Kirimkan puisimu minimal 5 judul dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Pada subjek e-mail ditulis SEMARAK PUISI MALAM MINGGU_edisi ke-57 (malam minggu selanjutnya). Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan puisimu tidak dimuat maka puisi dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.
PUISI PUISI NURIMAN N BAYAN
KATA KATA TANPA KAKI
Apa lagi yang diharapkan dari lidahmu kekasih
sementara berjumlah kata berjalan tanpa kaki
segala kalimat memakan hati
berenang-renang di samudera tak air.
Apa lagi yang mesti ditunggu
jika angin barat menengok ke timur
membawa berjuta amukan
menyesakkan dada
hingga tanah sepi dan ingin berteriak
tetapi daun langit masih pekat
dilindung kabut hitam.
Apa lagi yang dibanggakan dari langkah ini
bila setiap jejak hanya bertalu dendam
kepura-kepuraan.
Sejak lama aku telah asing
tetapi bukan ditawarkan
malah dicebur ke dalam garam
hingga rasa asin tertimbun lebat
di kolam permandian ini.
Aku lain dari yang lain
seperti antonim dalam sebuah kalimat
tak pernah terjamah oleh kamus kamus modern.
Ternate, 01 Maret 2017
KEPADA ANGIN
Aku telah kalah
dari waktu yang lalu
jauh--- sebelum aku tersulap
jadi ombak
dan melukis angka pada pantai
yang memuntahkan prasangka.
Engkau paham
bila tubuhku pernah pecah
diguncang badai
tapi aku buta
sejak kau bisu.
Hai angin!
Aku ombak
berulang ulang, memukul dada
ke dinding batu
bahkan terkapar
jadi puing
berserakan di meja puisi
pun di layar kaca.
Lalu kini
kau jelmakan aku dalam
bentuk seperti apa?
Sementara rasa ini
belum berdamai
dengan sungai yang mati.
Ternate, 01 Maret 2017.
SAJAK DARI NEGERI SUNYI
Ia, adalah aku
sajak dari negeri sunyi
tempat tuan tuan menciptakan anak angin
tempat terkuburnya warisan para moyang.
Sedangkan engkau, duhai perempuanku
tercipta dari ringkasan air mata
batang batang gelisah, tiang tiang dendam
dan gumpalan awan yang tak pernah menjadi hujan.
Tetapi siapakah yang mengerti sajak ini?
Sementara adat dan budaya sudah lebam
dan terlanjur digantikan dengan sebongkahan
ego kepura-puraan.
Duhai perempuanku
aku, hanya sebuah sajak
menjaring laba laba menjadi puisi
penunggang aksara yang sekarat
dan berulangkali dilukai selangit bahasa.
Sementara ia, tinggi besar dan lebar
sebab kekenyangan sudah menjadi menu pagi.
Lantas bagaimana dengan mereka?
Jika suara menjelma emas dan bicara terbungkam
dalam undang-undang yang dibuat dari negeri angin.
Ternate, 11 Maret 2017.
MENIMBANG RASA
Ketika langit memuntahkan hujan
aku pun menimbang rasamu
dengan segelas teh manis
sekedar mengukur kadar dinginmu
yang pernah kusesap di beberapa purnama.
Entah apa yang akan terjadi
biarkan puisi mengabarkan
berita dari langit.
Ternate, 07 Maret 2017.
DAUN KERTAS
Aku tak butuh, tinggi nadanya angin
atau suara halilintar yang pecah di Gamalama.
Tapi mendekatlah
dan duduk di antara busur panah
saling membidik
lalu bisikan sajakmu pelan pelan
sebab daun kertasku amat lunak.
Ternate, 07 Maret 2017.
KELAK
Kelak, kau akan paham, mengapa
aku lebih sering mengalunkan ole ole
daripada memberi segelas api.
Begitu pun tentang huruf hurufmu
yang pernah kugunting.
Bukan apa apa, sebab
darah para tetua
telah beralamat di pori-pori ini.
Ternate, 07 Maret 2017.
MATA KATA KACA MATA
Aku baru tahu, kalau kita hidup
di bawah mata kata
suka berhura-hura di atas pura-pura.
Amboi! Ternyata, ternyata
kita juga hidup di bukit kaca mata
berteman tiang tiang buta
hingga kemerdekaan laksana kunang-kunang
butuh parang-parang ‘tuk sebuah terjemahan.
Wah, wah. Hebat!
Pantasan, kita seperti di buku buku dongeng.
Ternate, 28 Februari 2017.
DI BALIK PINTU LANGIT
Engkau tahu?
Mengapa
aku lebih sering menyeduh teh manis
dan menyesap batang udara
lalu diam diam menuliskan puisi untukmu.
Sebenarnya, aku hanya memastikan
dan mencuci luka kemarin
agar aku, lebih mudah bersembunyi
di balik pintu langit.
Sebab duniamu, terlalu buas
untuk kususuri dengan bahasa hati
apa lagi berdiam di bawah matahari.
Dan tanpa kau tahu, di balik pintu ini
pandanganku lebih bebas
mendapatimu menari di selokan maya.
Ternate, 07 Maret 2017.
KAKI PERDMAIAN
Selamat tinggal masa lalu
selamat datang masa depan.
Semoga kalian telah berdamai
dari himpitan pusaran masa
dan masih ingin menyambung
kaki perdamaian
urat kemerdekaan
untuk menyembuhkan luka keadilan.
Ternate, 21 Februari 2017.
SAJAK UNTUK KEKASIH
Puisi tahu, engkau masih sama seperti dulu
suka merayu, bahkan sangat lihai
menaklukkan setiap hati.
Dan aku rindu
hingga di balik dinding ini
tak putus-putus mengirimkan sajak cinta untukmu
tentang
gelisah, pukulan dan berjumlah badai
yang melukai jiwa.
Tetapinya, kolom kolom
dan suara bergambar seakan murka
hingga sajakku tak pernah sampai
atau engkau yang sengaja menutup mata hati
dan enggan membalas.
Padahal, kedatanganmu, kunanti sejak lama
jauh-- sebelum Halmahera jadi kalah
karena gelisah.
Ternate, 04 Maret 2017.
SAJAK ANGIN
Sejak angin menandai
tubuh ini menggigil,
menahan guncangan
bahkan lelah meringkas kalimat
menjadi puisi.
Namun---
aku daun di setiap tumbang,
jadi bangkai hujan
tenggelam.
Sebab tak pandai memaki
walau sesak di tubuh ini pecah bersama ratapan.
Ternate, 02 Maret 2017.
CATATAN RINDU
Merindumu, laksana hujan
tumpah tanpa awan
dan di punggungnya
anak anak bermain tari.
Lalu aku menyaksikan
dan tenggelam
dalam tatapan yang diam.
Ternate, 04 Maret 2017.
PUISI HARI INI
Sesudah itu, kita pun bersua kembali
meringkas cerita
dan mengulangi
membuka catatan kemarin.
Ada udara yang tak asing
di ruang ini
juga titik titik bicara.
Ternate, 03 Maret 2017.
TERIMA KASIH
Terima kasih sakit
telah keluar dari kepala ini.
Semoga engkau masih ingin kembali
walau kedatanganmu membuat
aku amnesia.
Ternate, 03 Maret 2017.
MENUNGGU SIANG
Di musim panas kali ini
berhari-hari siang ditunggu
sebab malam tak lenyap
dihantam matahari
sementara angin tersesat
mulai bermunculan
bertengker di beranda kota.
Ada harap terlampir erat di dada ini
untuk menghapus segala ingatan
semusim lalu
tetapi malam belumlah usai.
Maka---
rahim penantian musti melahirkan
anak anak penunggu setia
sekedar merapikan
amukan ombak
demi kisah kisah fajar di balik senyap.
Ada sepi di kaki bujang ini
ingin berisak tangis di pangkuan kekasih
namun meminta bukanlah satu keharusan
selain kabut kesia-sian
menetas hujan hujan garam.
Entah berapa banyak lagi
kata kata bertualang
menaklukkan awan hitam
di langit bisu
sedangkan kekasihku hanya datang
seusai hujan dan pergi selepas hujan.
Ternate, 01 Maret 2017.
Pentang Penulis: Nuriman N. Bayan (Abi N. Bayan) tinggal di Supu, Kec. Loloda Utara, Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Abi N. Bayan, Penggiat seni tulis, Pembina Komunitas Parlamen Jalanan Maluku Utara (KPJ MALUT), dan tergabung di Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (GAMHAS-MU). mempublikasikan puisinya puisinya di media online www.Wartalambar.com.
Tidak ada komentar