Semarak Puisi Malam Minggu (Edisi ke-63)
SEMARAK PUISI MALAM MINGGU (edisi ke-63)
DARI REDAKSI
Kirimkan puisimu minimal 5 judul dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Pada subjek e-mail ditulis SEMARAK PUISI MALAM MINGGU_edisi ke-64 (malam minggu selanjutnya). Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan puisimu tidak dimuat maka puisi dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.
PUISI PUISI KARYA BERSAMA
PUISI PUISI INING RUSTINI
HASRAT
Bukan tak punya prinsip
Rencana kadang tidak menetap
Hanya harapan dari keinginan
Tapi penentu adalah Tuhan
Bukan tak punya pendirian
Kadang lidah dan kaki berlainan
Walau hati ada kesamaan
Tapi segala di luar dugaan
Biarlah tangan menggapai dengan doa dipanjatkan
Tanda berusaha memperjuankan peniatan
KSA, 4 April 2017
Ego
Kita saling berebut paham
Saling ajukan pendapat
Dengan lontarkan kalimat
Bahwa kita tak salah
Kita kadang saling berselisih
Dengan ucapan fasih
Bahwa kita berasa yang paling bersih
Namun kita tak sadar
Segala pendapat tidaklah Benar Karena kemenangan ingin disandar
Tak perduli yang lain pintar
KSA, 4 April 2017
IBU
Ibu maafkan kesalahan
Jika selama ini belum mampu
membahagiakan
Janganlah lontarkan kata-kata yang jadi petaka
Hingga hidupku lara
Ibu bentangkan pintu kasih
Dari rindu selama ini
Tanpa pertemuan nan basi
Dari waktu tertunda berkali-kali
Tunggulah kesempatan
Atas rasa kebersamaan yang tertinggal
Dan kemesraan tersimpan
Dari jarak jauh yang memisahkan
KSA, 4 April 2017
Ayah
Berasa baru kemarin
Kita bercanda tawa
Bertukar cerita
Tentang kisah anak-anak semua
Kini ayah telah renta
Penglihatan menggunakan kacamata
Pendengaranpun tak jelas seperti biasa
Tenagapun tak sekekar dulu
Lelah lemah cara pikulmu
Makan minum hanya separuh
Hingga lelap tidurpun tak penuh
KSA, 4 April 2017
ANAKKU
Tiadakah menyimpan Rindu? Sekian lama kita tak bertemu
Ingin kuluapkan hasrat buntu
Dari perjalanan jarak waktu
Aku ingin segera pulang
Saling ungkapan kasih sayang
Selama kesempatan saat Peterman tapa memisahkan
Tunggulah ANAKKU di sana
Sambutlah dengan suka
Bentangkan senyum bahagia nanti dengan tawa
KSA, 4 April 2017
Tentang Penulis: Ining Rustini, ia tinggal di Arab Saudi.
PUISI PUISI ENDANG A
BISING
Sesak pada trotoar jalan
meresahkan pembaringan
suara berdesing
aku jadi sinting.
Sekejap saja ingin menikmati malam
namun, kegaduhan terdengar lebih memuakan.
Hai!
buayaku tak tidur pula
enyahlah!
Mengapa hening menghilang?
Kembali meracik kopi
dengan kemalasan
berupa entah
di pagi kejenuhan.
Jakarta, 27 April 2017.
PERJALANAN WAKTU
Hai camai, sudahkah menyemai biji puisi?
bersama sarapan pagi, mengemas calo calo dunia.
Ya betul dia!
yang gemar mencakar cakrabuana
hingga tak bernapas.
Atau-
tuan hanya sibuk merangkum angkasa
mengejar jagat sempoyongan
bertikai dengan waktu.
Sedang detik jarum jam bergerak cepat
dan anda kerepotan mencari jejak
di antara bilik pengecualian
mengibas sangkala.
Dan aku-
hanya mengupas malam
pada penat keseharian
bertemankan keresahan
mecoba menghapus cerita kelam
Jakarta, 27 April 2017.
DI BALIK SENYUM
Kalimat habis terkupas pagi
di penghujung malam terikat sepi
mengenang kalian
lipatan waktu mengulang
wajah sajak tersebutkan.
Batang kata menghias mimpi
berdatangan kembali memangkas hari
tiap rintih dan bahagia
berpulang kembali pada untaian nada beralamatkan persembahan dedoa.
Keseharianku tak melepas ikatan
menginggat setiap detak yang tercipta
kupersembahkan irama hidup penuh napas kesejukan
memenuhi impian ayah ibuku
walaupun tak sesempurna hasrat.
Jakarta, 26 April 2017
RAJA ILMU
Adalah dia, pemuas hasrat ilmu pada tiang keponggahan zaman
Dan serangkaian aljabar pengisi otak seorang bocah mungil, perabadan baru
Sedang raja mata menyisir pantai, memenuhi barak-barak ruang sekolahan dengan keangkuhan ilmu.
Lihatlah!
terlalu bising untuk meniduri ranjang sajak, berupa lembaran usang di sepagian.
Kemudian brosur-brosur trotoar jalan mengabarkan mutu-mutu sebuah gedung, beralamatkan pendidikan.
Enyahlah!
sebab aku hanyalah picisan gelandangan ibu kota
yang menyusuri loakan buku-buku untuk sekedar mengetahui kabar dunia.
Jakarta, 28 April 2017
KALIMAT RESAH
Dik, bangulah sayang!
lihat gerimis ini
mengalamatkan rintihmu
bersama untaian nada sempoyongan.
Baru kemarin hasrat hidup melepas
menipiskan kekuatan
muncul kepulangan bertubi tubi
sesakkan hulu dada, merapuh.
Bangkitlah!
seduh kopi dan nikmati kepahitan
namun jangan katakan, "Pergi"
sebab tak akan sanggup
cukup pontianak penuh hujan
tetapinya bukan Jakarta.
Jakarta, 28 April 2017.
ASA DI UJUNG JANJI
Adalah kau peruntuh wajah puisi dalam helaian koyak
Dan kotak pemukul malam ilustrasi senja
Demi kota yang telah kau rejam aku menghela napas kesurupan.
Wahai jiwa yang tak berjiwa, langkahmu mematikan asa yang hampir mati, kemudian menyempurnakannya dalam keabadian.
Sedang benak puisi butuh sebuah kalimat pulang
telah lama terlunta di meja perang
meninabobokan sebuah dilema panjang
beralaskan kesuraman cerita.
Jakarta, 30 April 2017
PERPISAHAN ABADI
Wahai jiwa yang namanya tak kusebutkan
engkau tau benar rasa perih
saat detik terakhir menghampiri pedih
beralamatkan sebuah kepulangan.
Kepada tanah nenek moyang terdahulu
kutitipkan sebait kata rindu
dan bonus tubuh kaku
memeras gerimis persimpangan jalan.
Sebab aku belum siap berkemas
menjadi matahari
terlihat jelas
aliran hujan turun ke hati.
Tetapi beri sedikit waktu
untuk mengupas sendu
akan wajah ibu
yang telah tertelan batu.
Jakarta, 30 April 2017
TAKDIR PUISI
Jakarta meretas gerimis, tentang anak-anak puisi
sekarat, terjebak lingung, dan lupa alamat.
Sedang ribuan pintu terbuka, dari ufuk barat ke timur, namun sajak kami resah.
Angin berhembus keselatan, dengan mahkota kata lautan sunyi
mereka berenang
menikmati sajian pesta sastra.
Lihat di sini!
benak-benang penyair bertikai dengan takdir
sulit melewati pembatas jarak yang berspasi
sebab napas tertinggal di ujung altar problematika hidup
yang hanya sanggup meniduri helaian kertas-kertas buram tak bernyawa.
Jakarta, 26 April 2017.
HARAPAN PADA UJUNG NAPAS
Sebab kita sepasang puisi
mengumbar kemesraan pada helaian kata
memanah aksara di bukit sastra
pada awal perjumpaan
beralamatkan pencerahan.
Lalu penjiwaan rasa berurat nadi
perbaitnya menyulitkan jantung untuk bertikai dengan asa
pembeda jarak berirama membentuk polah melukis senja.
Ya sajak kami harus hidup kedepan
mempunyai kepulangan
kemenangan
bukan sebuah detak kematian
dan menjadi pembungkus makanan
sebab, miris hati kemudian
perjuangan harus lanjut kedepan
sebab harapan ada di ujung penantian.
Jakarta, 26 April 2017.
HUJAN
Hujan adalah tumpukan duka masa silam penuh pecahan rasa
sedang payung sastra tak mampu menampung jejak rindu
hingga kalimat mengabu.
Sejatinya cinta
Berlabuh pada batang napas
Menyejukan bumi yang haus kasih
Pemicu pijaran jantung berorientasi
pada suatu masa yang melipat cuaca.
Bergerak lagi meluncur ke bawah nada paling dasar
menyemai butiran padi yang basah
dan meracik biji kopi
sambil bermain musik.
Jakarta,2 Mei 2017.
Tentang penulis: Erin Endang A tinggal di jln dato tonggara 1
Kramat Jati Jakarta Timur. Bekerja : dinas kebersihan. Endang mempublikasihkan puisi- puisinya di media online www.wartalambar.com
PUISI PUISI RIRI ANGREINI
MASIH DAHAGA
Jangan tanya rasa yang bergemuruh saat ini
cukup lihat di bening yang tersirat dan
Ejalah
ada miliaran butir kesedihan yang tak bisa kupaparkan.
Seminggu lamanya kita habiskan
banyak kisah yang belum tuntas
kita tintakan dalam sajak kenangan.
Tepat hari ini, waktu melerai
kita berjarak dalam santun rindu
yang belum usai.
Perjalanan ini,
kristal bening jadi lambang
teman penawar pilu
kasih yang masih dahaga.
Dalam Perjalanan, 04 Mei 2017.
TAK LEKANG
Selangkah lagi
raga ini akan menghilang aromanya yang kubawa dari Ranah Minang.
Namun-
jejaknya membekas
dalam tapak kenangan
yang takkan lekang ditelan masa
terima kasih untuk waktu
yang engkau hadiahkan.
Bandara Minangkabau, 04 Mei 2017.
MENGUDARA
Di sebatang rimbun itu,
aku menyaksikan tatapan
penuh harap dan sabar, penantian yang dijadwalkan.
Satu sosok yang menarik pandangan
Ia gadis mungil, objek mata lelaki, muda di sampingnya.
Dengan belaian kasih
helai rambut menyapa halus paras sang putri.
Sesekali mereka berbalas senyum, tulus.
Setulus penantian mereka, dibawa mengudara.
Bandara MK, 04 Mei 2017.
BUKAN UNTUK SELAMAT TINGGAL
Padamu Sumbar, kukabari setapak kisah, tentang perjalanan hari ini.
Berucap puji, atas kebesaran-Nya
Kubisa berpijak di sini dengan selamat.
Hawamu Ranah Minang, masih tercium harum di ujung hidung, meresap ke hulu hati.
Cintaku masih tertinggal di ranah, bersama setumpuk kenangan yang indah.
Bandara Soekarno-Hatta, 04 Mei 2017.
BIRUMU DI PELUPUK HATI
Kisah senja kemaren telah jadi kenangan
hari ini dan seterusnya.
Deburan nan anggun masih terngiang
temani langkah hari ini
Warna cantik masih kentara
di pelangi netra ini.
Berkisah tentang biru auramu
tak akan pernah habis di bungkus waktu.
Tol Jkt, 04 Mei 2017.
Tentang penulis : Riri Angreini lahir di Padang Panjang, Kambang. Anak ke empat dari lima bersaudara. Saat ini bertempat tinggal di Bintara jaya, Bekasi Barat. Karya karya di terbitkan www.wartalambar.com.
PUISI PUISI BUNDA SWANTI
SEBUNGKUS RINDU
Pada sepotong kata
ada ukiran rasa
nikmatnya memeluk lupa
menanti nawala berkisah.
Pada sabit bulan di langit
membias cahaya meski temaram.
Sebab-
tak pernah tau kapan purnama.
Tiada penat mengukir rindu
lantas membenamkan di palung jiwa, sebisanya.
Meski gulana membakar dada tiap detik,
maniskan bingkisan dari satu rahasia
membungkus rapi rindu terjaga sampai ujung senja.
Betapa sahaja namun begitu istimewa.
Rokan Hilir, 3 Mei 2017.
KELUH
Butiran debu menempel nyaris habis
setiap cela ada noda.
Keluh menghujat masa
memaki untung rugi.
Hardikmu santun
menampar pipi kanan kiri
menancap tergurat merah.
Bangunkan akan alpa, harus mengerti hanya pada siapa kesah dicurah.
Kemarin-
sebabmu aku tahu
jalan pulang
kembali pada cintaku,
yang telah lama rindu hadirku.
Akan lewatkan malam penuh cinta, penuhi semesta.
Rokan Hilir, 2 Mei 2017.
HENING
Diam tak mau diusik
sebab tak akan terusik.
Ada geletar ranting berbisik pada daun, sepi tak mungkin membunuh.
Mengulik dalam cawan jiwa
serentetan asmara membahana.
Membawanya diam, bisu semakin nyenyap.
Sakit mencuci luka bersama nanah, netra terpejam ada sungging patah di bawah alis.
Biarkan beku selama mampu menentang
tatapan garang sang surya.
Diamlah dalam damai
sebab engkau akan temui
apa dan siapa.
Rokan Hilir, 1 Mei 2017.
KASIH
Kusebut dalam setiap embusan nafas
satu nama menghias jambangan hati.
Menanak sajak rindu dendam pagi dan petang berdendang memagut awan.
Buta mata hati menyala, pupuskan pikir tiada logika
hanya mau berkisah, cuma tentangmu.
Izinkan namaku
ada di dinding hati terdalam akan lahirkan puisi sepanjang zaman.
Kasih ... mencintamu adalah anugrah terindah.
Rokan Hilir, 30 April 2017.
PADAMU IMAMKU
Santun tutur lugas berucap
diam terbaik pada marahmu.
Geliat masalah memupuk pondasi kian kokoh tertegak.
Tiap alinea kita gegas jalani
membidik buliran hari
menyulam jadi bingkai kisah tiada dua.
Tatap lembut empat netra bicara, selalu ada gelora meletup letup.
Dalam bisu saling berucap
ingin bersama sampai bila bila.
Perkasa nan lembut, melekat erat di raga nan santun.
Wahai imamku
bolehkah daku tetap bersamamu
hingga kelak pada kehidupan ke dua.
Menjadi ratu para bidadari
melayani tanpa pamrih.
Rokan Hilir, 29 April 2017.
Tentang Penulis: Bunda Swanti adalah Seorang ibu rumah tangga yang Hobi membaca puisi
Alamat Desa Bangko Lestari, Kecamatan Bangko Pusako, Kabupaten Rokan Hilir-RIAU, puisi puisinya rutin diikut sertakan dalam program Semarak Puisi Malam Minggu Wartalambar
PUISI PUISI NENI YULIANTI
SECARIK KERTAS
Hai,
Selepas malam kau datang
tawarkan lagi secarik kertas, beralaskan alamat
berhias kalimat romansa, bertabur mimpi
yang mengurai rumit benang kusut
di antara secangkir pikir, memecah warna.
Dari lembaran waktu
menyunting sajak dahulu
beraroma selendang mayang
penuntun arah jalan pulang.
Ya-
kau dengan Bismillah
mencoba meniup segala debu
dan menyimpan cahaya dalam kelopak.
Dan dengan secarik kertas, bangunkan aku dari tidur yang panjang.
Cirebon, 3 Mei 2017.
SEKUNTUM RINDU
Telah kupetik sekuntum rindu di taman hati
tumbuh menjulang tinggi membias warna merah muda.
Ya--
tetaplah tumbuh hingga tunas yang bermukim memberi kenyamanan.
Ya, ya di sini, sekuntum rindu yang kau beri
tawarkan rasa pada antrian pelangi.
Cirebon, 30 April 2017.
KABAR BURUNG
Entah, kabar apalagi yang dibawakan decit burung itu
berkicau tiada henti di antara rumput-rumput liar
meramu kalimat dengan penambahan kata, di luar nalar.
Hanya kebisingan yang berdentum di telinga
merobek rasa di hulu dada
menikam dalam diam, terpelanting ke dasar.
Ya-
terbanglah sesuka hati, biarkan angin embuskan semua.
Dan kembali belajar pada hukum alam, juga bahasa Ibu.
Cirebon, 4 April 2017.
DUA SISI AIR MATA
Pada senja kupandangi sudut mungil itu
ada sebutir rindu yang mengendap di kelopak
bergetar di dada menahan sesak.
Sesal bergumpal di tangan
mencabik nurani tiada ampunan, begitu perih.
Nak, maafkan Ibu
ceriamu menghilang larut dalam senja
tergerus oleh ego memisahkan jarak, antara Ayah dan Ibu.
Nak, tersenyumlah!
Tetaplah hiasi bibir mungilmu
mari kita bersama memunajat pada Tuhan
mendekap bahagia dalam ayunan kasih sayang.
Cirebon, 2 Mei 2017.
Tentang Penulis : Neni Yulianti, bertempat tinggal di kota Cirebon, kegiatan bekerja di perusahaan swasta, menekuni dunia menulis puisi, Neni Yulianti belajar menulis di sebuah komunitas dunia maya yang diasuh beberapa narasumber dari KOMSAS SIMALABA. Dan Rutin karya karyanya dipublikasikan di media online
PUISI PUISI MALA FEBRIYANI
JANJI SUCI
Ketika kau membisikkan kata
cinta digendang telingaku, sungguh leherku tercekik tak
percaya kau berujar itu.
Alangkah indahnya kala
dengan membusungkan dada
kau berjanji dihadapan ibuku
bahwa kau ingin meminangku.
Bahagia sederhana, cukup mendengar kau mengucap janji
suci denganku.
Kutulis di Mei kenangan indah
yang tertelan sepanjang waktu.
ANAK JALANAN
Aku terbelalak melihat anak-anak
jalanan kelaparan, kedinginan
sungguh miris nian nasib mereka.
Kemari Nak--
akan aku taburkan kasih
tulusku untuk kalian, sebab
bahagia menantimu di ujung
suratan yang Tuhan tulis.
KEHIDUPAN
Tirainya mampu menyibak
jendela hidup ini, senyawa
pikirku masih di batas keraguan
akan indahnya hidup.
Namun--
di penghujung batas lelah
sejumput hidayah hadir di
kehidupan fana ini.
KETEGUHAN
Mala
Jika sekecipak riak mampu
membuat aroma luka pada hati
akankah harapan seluas laut
pesisir ini mampu bertahan jernih?
Entah--
keteguhan masih diambang semu dan mentah akan janji manis palsu.
Tak mungkin kubingkai lukisan lusuhmu.
Selamat jalan kisah kelabu.
PERGILAH
Jika di dadamu masih ada
keraguan
kenapa ada kisah di rumah ini?
Pergilah!
Jika tiada hendak bersanding
sebabnya yang tenggelam
di bawah terik penantian.
Ketika kau ingin berlari, lepaskanlah
biarkan, sejenak menghirup
kenyataan
pasti ada derai air mata namun biarlah begitu
sebaik-baik itu untukmu.
Dan jika masih nyaman
bergelayut, bermanja pada cintaku
lalu semu, engkau mrnyulapnya menjadi cahaya.
Maka nasib, memanglah, menunggu takdir, ketika bahagia berpihak.
Jakarta, 2 Mei 2017.
Tentang Penulis: Mala Febriyani mempublikasikan karyanya di media www.wartalambar.com .
PUISI PUISI Q ALSUNGKAWA
KEPADA RIRI ANGGREINI
Izinkan aku menyimpan namamu
di antara orang orang terkasih
di sini, di lipatan hati yang paling suci.
Kini aku ingin berubah camar
mengabarkan cintamu kepada dunia
dan sayap sayapku mengukur derasnya angin
untukmu yang berhati 24 karat.
Hai, kalimat yang belum sempat ku-ucapkan
tetapi ini adalah kado terindah
sejatinya aku temukan sesosok bidadari dari Ranah Minang.
Lampung Barat 3 Mei 2017.
TARIAN SEPOTONG RANTING
Ranting-ranting yang menari
menemukan nasibnya sendiri
berbicara pada teduh
mengadukan selembar daun yang terjun bebas
menjumpai kalimat terakhir.
Hai jiwa yang ramai digunjingkan orang orang
mengapa sepakat musti kita batalkan?
sementara angin masih bertiup
bahkan terkadang melupakan bahasa pribumi.
Kita butiran debu
yang hinggap di daun gugur
memperbandingkan aroma tubuh
sebab waktu, menepati janji.
Lampung Barat, 3 Mei 2017.
KAPAN LAGI SETELAH INI
Tumbuhlah menjadi banyak
setelah itu, kita bergantian.
Sejatinya kita adalah sama
berkelana
di padang pencarian
tentang kalimat bunga setaman.
Entah apa lagi yang kita pungut
menterjemahkan pundi, yang sebenarnya kosong.
Entah apa lagi-
suara suara itu kian berisik
memperebutkan warna dunia
padahal kita datang dengan telanjang
dan kembali dengan selembar kain putih
untuk menyembunyikan tubuh yang rapuh.
Entah apa lagi
ketika kita mulai mengerti
berapa waktu yang berarti
sisanya, di ranah penyesalan.
Lampung Barat, 4 Mei 2017.
Tentang Penulis: Q Alsungkawa, bergiat di komunitas sastra di Lampung Barat (KOMSAS SIMALABA), ia mempulikasikan puisi-puisinya di media online www.wartalambar.com, Saibumi.com dan Lampungmediaonline.com. Puisi puisinya juga tergabung dalam buku antolog EMBUN EMBUN PUISI, EMBUN PAGI LERENG PESAGI, dll.
Tidak ada komentar