Semarak Puisi Malam Minggu (Edisi ke 72) Puisi Karya Hanus Hachenburg
SEMARAK PUISI MALAM MINGGU (EDISI KE 72)
Kirimkan Puisimu minimal 5 judul, dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 2 bulan puisimu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.
PUISI-PUISI HANUS HACHENBURG
TERJEMAHAN OLEH FERNANDA ROCHMAN ARDHANA
TEREZIN
beberapa kotoran di dinding kusam,
serta dikelilingi kawat berduri,
dan 30.000 jiwa tertidur
yang mana akan terbangun
dan seringkali akan melihat
darahnya sendiri menumpah
aku pernah menjadi seorang anak,
tiga tahun lalu.
anak itu mendambakan dunia berbeda.
namun kini, aku bukan lagi anak-anak
karena aku telah belajar untuk membenci.
aku seorang yang tumbuh dewasa,
aku telah mengenal ketakutan.
kata-kata berdarah dan hari kematian setelahnya,
sungguh sesuatu yang berbeda dibandingkan Bogie!
tapi bagaimanapun, aku masih percaya aku hanya tidur hari ini,
bahwa aku akan bangun, kembali menjadi anak-anak, mulai tertawa dan bermain.
aku akan kembali ke masa kanak-kanak, begitu manis layaknya Briar Rose,
seperti lonceng yang membangunkan kita dari mimpi,
seperti seorang ibu dengan anaknya yang sakit
mencintainya dengan cinta keibuan
betapa tragisnya, bila kemudian, yang muda haruslah hidup
dengan musuh, dengan tali gantungan,
betapa tragisnya, kemudian, anak-anak berada di pangkuanmu
mengatakan: ini untuk kebaikan, itu untuk keburukan.
di suatu tempat, jauh di luar sana, masa kanak-kanak manis tertidur,
di sepanjang jalan di antara pepohonan,
disana dalam rumah itu
yang dahulu kebanggaan dan kegembiraanku.
disana ibuku melahirkanku ke dunia ini
hingga aku dapat menangis. . .
dalam nyala lilin di dekat ranjangku, aku tertidur
dan suatu ketika mungkin aku akan mengerti
bahwa aku hanyalah sesuatu yang sangat kecil,
selayak lagu ini.
30.000 jiwa ini yang tertidur
di antara pepohonan akan terbangun,
membuka mata
dan karena mereka melihat
banyak hal
mereka akan jatuh tertidur kembali. . .
LAGU KEBANGSAAN PARA TAHANAN
Hingga kami melangkah
sebuah obor berada di tangan kami
untuk menaklukkan dunia
dengan besi yang menyiksa.
Demi memenangkan Tuhan
untuk tanah yang jauh
Demi memenangkan keadilan
untuk minoritas yang tak terhitung.
Berjuang untuk dunia
kerja dan kekuatan
bahkan mungkin menurun
teruntuk generasi.
Dunia menggerakkan kami
di bulan Maret yang penuh pengakuan
mungkin hanya para pembom
yang mengharuskan kami
terjatuh
di atas gundukan pemakaman.
Waktu akan memberi kemenangan
dan mendinginkan luka-luka itu.
HATI
di setiap hati, di sudut tanpa nama
mungkin ada ruang kecil
dimana seorang pria menikmati dirinya
"aku" layaknya cincin di jari kelingkingnya.
sebuah beban buruk kusimpan disana,
begitu banyak perasaan tanpa nama
dan aku tak dapat mengungkapkannya.
aku adalah gema di tengah angin.
anakku, saat ia terlahir,
bersemangat untuk hidup, menjadi laki-laki
barangkali ia tak dapat seterusnya hidup
dengan apa yang kulihat dan derita.
aku tak tahu nama apa yang kuberikan
teruntuk kamar kecilku dengan pintu kecilnya,
mungkin seekor burung akan membisikkan sebuah pesan
di telingaku serupa gema.
mungkin anakku akan berujar: "Ayah, aku tahu
bagaimana perasaan dirimu: hatiku begitu kejam padaku
ia tak akan membiarkanku bermimpi,
namun selalu berkata:
"kawanku
bagaimana bila kau memasukkanku ke dalam kata-kata?"
hari ini aku berkata: hati adalah api,
aku tak memiliki kekuatan untuk memadamkannya.
AIR
Tak lebih dari sekedar air adalah kami
air yang berada di balik kelopak mata sayu
dan hanya ingin berlari
mengambil sedikit sinar matahari
bahkan menaklukkan pulau-pulau
yang menghancurkan masa-masa kami.
Kami hanyalah hijau air
dari lumpur dan semangat berputar
dihempas oleh angin topan ke bebatuan
diterpa oleh badai dan petir
meraung melalui puing-puing berserakan
mendorong kami untuk maju. Kami menyanyikan lagu kami!
Senandung lautan, cinta yang ternyanyikan
melawan ombak yang pecah
namun waktu dan kami - kedamaian yang kami harapkan
meski kalian mati, kami akan membakar dunia.
Dan air yang segar, ombak yang baru
mengikis bendungan, menggali gua
dan seringkali di bawah gelagar guntur
kita memecah bendungan, diri kita sendiri, usia.
Lantas, dalam satu hembusan terakhir, dentuman dan ledakan
hingga dedalu tumbang dan daun-daun bertebaran
dan dunia akan binasa di mulut kebohongan
mengekang perbedaan antara daratan dan lautan
matahari akan mencium kita di bibir tangisan
Tak lebih dari sekedar air adalah masing-masing dari kami
Air itu mengalir dan dicintai.
Air itu akan menguap dan tak berujar apapun
jangan melihat peristiwa hari ini
bintang berputar dalam keributan yang ganjil
malam menelanmu dalam keputusasaan.
Kami mengalir melalui peti mati
untuk merangkul dunia
di sana, hingga menuju kebun anggur
Mulai hari ini, kejatuhan kami begitu mungkin
namun sebuah sungai – akan kekal!
Catatan:
HANUS HACHENBURG (1929-1944), penyair muda berkebangsaan Ceko yang merupakan salah satu korban pembantaian Nazi. Tahun 1944, di usia 14 tahun, penyair berdarah Yahudi ini dipindahkan dari kamp konsentrasi Nazi di Terezin, Ceko, ke kamp Auschwitz, Polandia, untuk menjalani eksekusi di gas chamber.
FERNANDA ROCHMAN ARDHANA dilahirkan di Jember, Indonesia. Berdomisili di Cileunyi, Jawa Barat, Indonesia. Tulisannya berupa puisi, cerpen, dan resensi dipublikasikan di berbagai surat kabar lokal dan Malaysia. Saat ini sedang menunggu kumpulan cerpennya yang akan diterbitkan Penerbitan Langit, Malaysia.
Tidak ada komentar