HEADLINE

Membongkar Realitas di Desa Way Haru: Kisah Keterisoliran dan Perjuangan Masyarakat

Membongkar Realitas di Desa Way Haru

Di antara gemerlap modernitas dan kemajuan infrastruktur di Indonesia, terdapat kisah yang jarang terdengar, sebuah cerita tentang kehidupan yang terjebak dalam keterbatasan dan kesulitan. Desa Way Haru, yang terletak di Kecamatan Bangkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, menjadi gambaran nyata dari ketidakmerataan pembangunan yang mengenaskan.

Sebuah Sejarah Panjang dengan Keterbatasan yang Tak Kunjung Usai

Membongkar Realitas di Desa Way Haru

Way Haru, yang sebagian besar dihuni oleh masyarakat adat Marga Belimbing, telah mengalami masa-masa sulit selama lebih dari dua ratus tahun. Kisah mereka tertulis dengan rasa pilu, karena tidak pernah memiliki akses jalan yang layak. Ini bukan sekadar cerita tentang kesulitan mobilitas; ini adalah cerita tentang bagaimana keterisoliran dapat menghambat perkembangan dan kesejahteraan suatu masyarakat.

Sejak penduduk mulai bermigrasi ke Way Haru pada tahun 1918, populasi mereka terus berkembang meskipun infrastruktur yang mendukung kehidupan sehari-hari mereka tidak pernah mengalami peningkatan yang signifikan. Jalan utama yang menuju ke desa ini bahkan tidak pernah dibangun sejak saat itu, menyebabkan segala bentuk transportasi modern seperti mobil menjadi barang yang tidak pernah terlihat. Hanya gerobak sapi dan motor trail yang dimodifikasi yang mampu menembus medan sulit menuju desa ini.

Kekayaan Alam yang Tak Tertandingi oleh Akses yang Merosot

Membongkar Realitas di Desa Way Haru

Way Haru sebenarnya diberkahi dengan kekayaan alam, seperti hasil bumi yang melimpah. Namun ironisnya, tingginya biaya angkut selalu menguras keuntungan para petani di sini. Misalnya, harga kelapa di Way Haru bisa jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya untuk mengangkutnya ke pasar terdekat, Way Heni. Hal ini menggambarkan betapa infrastruktur yang buruk tidak hanya membatasi mobilitas, tetapi juga mempersempit peluang ekonomi bagi penduduknya.

Perjuangan Harian dan Ancaman Alam yang Mengintai

Membongkar Realitas di Desa Way Haru

Bagi penduduk Way Haru, perjalanan sehari-hari tidak hanya sekadar menghadapi medan sulit. Ada tujuh muara yang harus mereka lewati untuk mencapai jalan lintas Lampung-Bengkulu, namun lima di antaranya tidak memiliki jembatan. Ketika musim hujan tiba, muara-muara ini seringkali banjir, menjadikan perjalanan mereka menjadi tidak mungkin dilalui. Bahkan di titik paling berbahaya, seperti Tebing Batu Krokos yang menjorok ke laut, penduduk harus berani menghadapi deburan ombak yang dapat mengancam nyawa mereka. Kehidupan di sini bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga tentang bertahan hidup dari alam yang kadang-kadang bersikap ganas.

Dampak Ekonomi dan Harapan untuk Perubahan

Membongkar Realitas di Desa Way Haru

Kondisi infrastruktur yang memprihatinkan ini juga sangat mempengaruhi ekonomi masyarakat setempat. Petani di Way Haru terpaksa menjual hasil panen mereka dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pasar-pasar di kota besar seperti Krui. Ongkos angkut yang tinggi tidak hanya menambah biaya produksi mereka, tetapi juga membuat mereka rentan terhadap fluktuasi harga komoditas seperti pisang.

Harapan untuk Perubahan dan Keadilan Sosial

Membongkar Realitas di Desa Way Haru

Meskipun terisolasi secara fisik, suara masyarakat Way Haru dan desa-desa tetangganya, seperti Siring Gading, Bandar Dalom, dan Way Tias, akhirnya terdengar. Mereka menantikan perhatian dan bantuan dari pemerintah untuk membangun infrastruktur yang layak, yang akan membuka aksesibilitas dan meningkatkan kualitas hidup mereka secara signifikan. Kepala Desa Way Haru dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak ingin dijadikan hanya komoditas politik menjelang pemilihan umum, tetapi mereka menginginkan solusi konkret dan berkelanjutan untuk permasalahan mereka.

Di balik cerita Way Haru adalah pengharapan besar untuk perubahan yang lebih baik. Masyarakat di sana tidak hanya berjuang untuk hidup, tetapi juga untuk mendapatkan tempat yang setara dalam pembangunan nasional. Ini adalah cerita tentang keadilan sosial yang ditantang oleh ketidaksetaraan infrastruktur, dan seberapa jauh kita bersedia untuk mendengar dan bertindak adalah cermin dari komitmen kita terhadap keadilan bagi semua warga negara Indonesia.

Laporan : Pascal

Tidak ada komentar